Minggu, 20 Maret 2016

Tujuan

Kehidupan > esensi > (niat.makna) > keimanan < ibadah > (semua subtitusi) . Kesenangan = nikmati.
Jalani.
Jenuh tidak tahu tujuan, hidup.
Tujuan hidup = ibadah.

Dalam Al-Quran, tepatnya Surat Thaha ayat ke-131, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ ۚ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ

“Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami uji mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal.”

Sementara itu Imam Al-Bukhari no. 1465 dan Imam Muslim no. 1052 meriwayatkan dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri –radhiyallahu ‘anhu-, ujarnya, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam duduk di mimbar sedangkan kami duduk di sekelilin beliau. Beliau bersabda,

إِنَّ مِمَّا أَخَافُ عَلَيْكُمْ من بعدي ما يفتح عليكم من زهرة الدنيا و زينتها

“Sesungguhnya di antara yang aku khawatirkan pada diri kalian setelah peninggalanku ialah dibukakannya bunga dunia dan pernak-perniknya untuk kalian.”

Pada ayat dan hadits tersebut di atas, kehidupan dunia diibaratkan sebagai bunga. Pertanyaaannya, apakah hubungan antara dunia dan bunga sehingga bunga dijadikan sebagai sample kehidupan dunia? Jawabannya dapat kita telaah sebagai berikut.

Ketika suatu tanaman yang hendak mengeluarkan buahnya, biasanya diawali dengan kemunculan bunga. Kadang kala bunga itu terlihat indah dan di saat lain terlihat begitu sangat menawan. Bahkan terkadang tidak sedikit orang yang memandangnya berhasrat untuk memetiknya dan dibawanya pergi. Namun tahukah kita sekiranya bunga tadi benar-benar dipetik sebelum berubah menjadi buah? Ternyata tidak akan berapa lama kemudian akan segera layu dan pada akhirnya akan dicampakan oleh sang pemetiknya. Memang jika masih berada di tangkai, terlihat begitu mempesona, namun jika diambil saat itu juga maka yang terjadi adalah malah justru menjadi layu, tak tahan lama. Berbeda ceritanya jika kita biarkan bunga itu terus berada di tangkainya sedikit agak lebih lama, tentu bunga tersebut akan berubah menjadi buah yang tidak saja indah dan menyejukkan pandangan jika dilihat, akan tetapi juga dapat dikonsumsi.

Dan gambaran dunia pun dapat dipastikan sebagaimana kisah bunga di atas. Kehidupan dunia itu terlihat begitu indah menawan di mata siapa saja yang melihat dan memandangnya. Tahta, jabatan, wanita, keturunan, harta, benda, dan seterusnya. Keseluruhannya itu nampak begitu menggoda dan membuai normalnya jiwa manusia tergoda dan berhasrat untuk menggapai dan menikmatinya. Akan tetapi sungguh, segala yang terlihat indah di mata itu sejatinya akan jauh lebih indah jika ditunggu sebentar saja nanti ketika datang kampung kekelan di akhirat. Adapun orang-orang yang terlena dan tergoda sehingga tak dapat menahan kecuali memetik dan menikmatinya, sungguh cepat ataupun lambat segala sesuatu yang dinikmatinya itu akan layu dan nampak suram dan bencana yang sangat mencekam. Demikianlah Allah menguji hamba-hamba-Nya agar dapat terlihat mana di antara mereka yang benar-benar jujur dan taat mematuhi segala titah-Nya, dan mana di antara mereka yang terburu-buru menikmati keindahan sebelum datang waktunya.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah mengatakan, bahwa dunia itu laksana surga bagi orang kafir, dan penjara bagi orang mukmin (HR Muslim). Kenapa? Karena di dunia itu dipenuhi aturan-aturan yang sama sekali tak boleh diterjang. Ada halal-haram, ada perintah-larangan, ada ini dan itu. Kerap kali untuk menjalankan suatu perintah, harus meninggalkan beberapa perkara yang nampak indah dan di saat tertentu harus menelan rasa pahit. Seluruh perintah ini hanya akan dilaksanakn oleh orang-orang mukmin karena meraka bersabar dan yakin bahwa kehidupan sebenarnya yang terdapat berbagai kenikmatan hanya akan ada di akhirat, di dunia bukanlah tempat berfoya-foya dan leyeh-leyeh. Dalam sebuah kaedah agung disebutkan,

من تركَ شيئًا للهِ ، عوَّضهُ اللهُ خيرًا منه

“Orang yang meninggalkan sesuatu karena Allah, pasti Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik untuknya”

Sedangkan orang kafir terburu-buru dan tidak sabar menikmati kemewahan dunia yang tak ubahnya fatamorgana. Di dunia mereka berfoya-foya dengan disertai ejekan dan cemoohan pada orang-orang yang mau bersabar, kelak orang-orang kafir itu akan merasakan akibatnya. Ketika mereka sudah merasakan indahnya dunia, kelak di negeri kekal tak akan lagi merasakan indahnya surga. Nerakalah tempat teduh mereka.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُوا مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا يَضْحَكُونَ * وَإِذَا مَرُّوا بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ * وَإِذَا انقَلَبُوا إِلَىٰ أَهْلِهِمُ انقَلَبُوا فَكِهِينَ * وَإِذَا رَأَوْهُمْ قَالُوا إِنَّ هَٰؤُلَاءِ لَضَالُّونَ * وَمَا أُرْسِلُوا عَلَيْهِمْ حَافِظِينَ * فَالْيَوْمَ الَّذِينَ آمَنُوا مِنَ الْكُفَّارِ يَضْحَكُونَ * عَلَى الْأَرَائِكِ يَنظُرُونَ * هَلْ ثُوِّبَ الْكُفَّارُ مَا كَانُوا يَفْعَلُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang yang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. Dan apabila orang-orang yang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mukmin, mereka mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu benar-benar orang-orang yang sesat”, padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin. Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir, mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS Al-Muthaffifin: 29-36).

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

مَّن كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَن نُّرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلَاهَا مَذْمُومًا مَّدْحُورًا* وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ وَسَعَىٰ لَهَا سَعْيَهَا وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَٰئِكَ كَانَ سَعْيُهُم مَّشْكُورًا

“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. Dan barangsiapa yang menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh sedang ia adalah mukmin, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalasi dengan baik.” (QS Al-Isra’: 18-19).

Dalam sebuah kaidah fikih disebutkan sebagai berikut,

مَنِ اسْتَعْجَلَ الشَّيْءَ قَبْلَ أَوَانِهِ عُوْقِبَ بِحِرْمَانِهِ

“Orang yang terburu-buru melakukan sesuatu sebelum saatnya, akan diharamkan melakukannya (setelah datang waktunya).”

Contoh kongkrit selain orang kafir yang tak sabar menikmati dunia ialah seperti apa yang dikatakan oleh baginda Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam, “Janganlah kalian memakai sutera, karena barang siapa yang memakainya di dunia, maka tidak akan memakainya di akhirat.” (HR Al-Bukhari-Muslim).

Walaupun ada dua kemingkinan maksud di atas, yaitu orang yang memakai sutera di dunia kelak di akhirat tidak akan masuk surge dan kemungkinan lain orang yang terlanjur memakai sutera di dunia kelak jika masuk surga tidak lagi mengenakannya.

Begitu pula dengan khamar dan banyak lagi contohnya.

Kaedah tersebut di atas bermakna luas dan umum. Seperti yang kita contohkan di atas, bahwa orang kafir telah mengambil keputusan menikmati keindahan hidup di dunia, padahal dunia bukanlah tempat berfoya-foya. Oleh sebab itu kelak di akhirat yang merupakan tempat kekal abadi yang sebenarnya tempat yang dijanjikan adanya nikmat agung, kelak mereka tak lagi dapat menikmatinya. Padahal jika mereka mau sedikit bersabar dengan meninggalkan hal-hal yang Allah murkai, mereka akan merasakan kenikmatan yang amat lebih indah dan nikmat.

Oleh sebab itu jangan kita merasa heran dengan keadaan orang-orang kafir di dunia. Allah Ta’ala pernah mengatakan,

لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ * مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۚ وَبِئْسَ الْمِهَادُ

“Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (QS Alu ‘Imran: 196-197).

Dunia memang laksana fatamorgana. Sepertinya megah, namun pada hakekatnya lemah. Menurut bahasa Arab, dunia berarti hina dan dekat. Hina karena harganya yang tak ada apa-apa dibanding akhirat. Dekat karena kedekatannya dengan kampung akhirat.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ ۚ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS Al-‘Ankabut: 64).

Dia juga berfirman dalam surat Al-Hadid ayat ke-20,

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.”

Maka manakah yang akan Anda pilih di antara keduanya? Akhirat yang telah disiapkan azab dan siksa yang pedih bagi orang-orang yang lebih mementingkan dunia daripada akhirat, ataukah ampunan dan keridhaan dari Allah ‘Azza wa Jalla bagi orang-orang yang lebih mementingkan akhirat daripada dunia?

Imam Ahmad meriwayatkan dari hadits Al-Mustaurid bin Syaddad –radhiyallahu ‘anhu-, bahwasannya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Sungguh, tempat cambuk kalian di surga lebih baik daripada dunia seisinya.”

Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Al-Mustaurid bin Syaddad pula, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Dunia dibandingkan akhirat hanya seperti salah seorang di antara kalian yang memasukkan jari tangannya ke dalam lautan. Perhatikanlah apa yang dibawa oleh jari itu?!”

Pada suatu kesempatan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah berjalan di kerumunan pasar melewati bangkai anak kambing yang telinganya kecil. Lantas beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengangkatnya dengan memegang telinganya seraya bersabda, “Siapa di antara kalian yang mau membeli ini seharga satu dirham?”

Para shahabat menjawab, “Kami tidak ingin membelinya seharga apapun. Apa yang bisa kamu perbuat dengannya?”

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengatakan, “Apakah kalian ingin memilikinya?”

Para hadirin menjawab, “Demi Allah, sekiranya masih hidup pun cacat, bangkai itu bertelinga kecil, lalu bagaimana lagi ketika ia sudah menjadi bangkai?”

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Demi Allah, dunia itu lebih hina di sisi Allah daripada bangkai itu di pandangan kalian.” (HR Muslim, dari Jabir –radhiyallahu ‘anhu-)

Imam Muslim meriwayatkan dari hadits Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, ujarnya, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

يُؤْتَى بِأَنْعَم أَهْلِ الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ النَّارِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ، فَيُصْبَغُ فِي النَّارِ صِبْغَةً ، ثُمَّ يُقَالُ : يَا ابْنَ آدَمَ؛ هَلْ رَأَيْتَ خَيْرًا قَطٌّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ نَعِيْمٌ قَطٌّ؟ فَيَقُوْلُ: لَا وَ اللهِ يَا رَبِّ.

وَ يُؤْتَى بِأَشَدِّ النَاسِ بُؤْسًا فِي الدُّنْيَا مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، فَيُصْبَغُ صِبْغَةً فِي الْجَنَّةِ، فَيُقَالُ لَهُ: يَا ابْنَ آدَمَ، هَلْ رَأَيْتَ بُؤْسًا قَطٌّ؟ هَلْ مَرَّ بِكَ شِدَّةٌ قَطٌّ؟ فَيَقُوْلُ: لَا وَ اللهِ، مَا مَرَّ بِي بُؤْسٌ قَطٌّ، وَ لَا رَأَيْتُ شِدَّةٌ قَطٌّ.

“Pada hari kiamat akan dihadirkan orang yang paling merasakan nikmat di dunia dari kalangan penduduk neraka. Kemudian ia dicelupkan sekali ke dalam neraka lantas ditanyakan padanya, ‘Hai manusia, apakah kamu pernah melihat kebaikan, apakah kamu pernah merasakan kenikmatan?’

Ia menjawab, ‘Tidak, demi Allah wahai Rabb-ku.’

Dan dihadirkan orang yang paling sengsara di dunia dari kalangan penduduk surga lalu dicelupkan ke dalam surga dengan sekali celupan. Ditanyakan padanya, ‘Wahai manusia, pernahkah kamu melihat satu penderitaan? Pernahkah kamu merasakan kesulitan?’

Ia menjawab, ‘Tidak, demi Allah, aku tidak pernah merasakan penderitaan sama sekali dan aku tak pernah melihat adanya kesulitan sedikitpun.’”

Demikianlah. Seorang muslim seharusnya benar-benar menyadari betapa dunia hanya negeri yang penuh dengan fatamorgana. Dunia bukanlah tempat bersenang-senang dan beristirahat. Dunia merupakan kampung mencari bekal. Sebaliknya, akhiratlah tempat memetik buah amal. Jika perbuatan yang diusahakan di dunia baik, tentu balasan di akhirat pun akan baik, dan demikian sebaliknya.

Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim melaporkan dari Anas bin Malik –radhiyallahu ‘anhu-, bahwasannya Rasululullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah mengatakan,

اَللهُمَّ لَا عَيْشَ إِلَّا عَيْشَ الْآخِرَةِ

“Ya Allah, tidak ada kehidupan kecuali kehidupan akhirat.”

Kemudian mari kita melihat kehidupan para suri tauladan kita yang benar-benar menyadari betapa dunia tak ada harganya sama sekali jika tidak dimanfaatkan sebagai kampung mencari bekal akhirat. Mereka menanggap bahwa harta bukanlah segalanya sehingga mereka tidak begitu berhasrat mengumpulkannya dan bahkan jika sudah di tangan, mereka begitu antusias untuk segera mengalihkantangan.

Ini dia Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah menyatakan, “Seandainya saya memiliki emas sebesar gunung Uhud tentu aku bergembira manakala tidak sampai tiga hari pada emas itu aku tidak memilikinya sedikit pun kecuali beberapa dinar yang aku simpan untuk keperluan hutang.” (HR Al-Bukhari-Muslim).

Sehingga ‘Amr bin Al-Harits menceritakan, “Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam wafat, beliau sama sekali tidak meninggalkan dinar, dirham, budak laki-laki, budak wanita, atau apapun kecuali keledai yang beliau kendarai dahulu, senjatanya, serta tanah yang sudah beliau wakafkah untuk ibnu sabil.” (HR Al-Bukhari)

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sendiri ketika hidupnya tidak pernah menolak orang yang menengadahkan tangan padanya. Sehingga saat tidak ada lagi tersisa harta di tangannya, beliau menyampaikan uzur.

Adalah dua puteri Abu Bakar Ash-Shiddiq –radhiyallahu ‘anhu– yang masing-masing bernama Asma’ dan ‘Aisyah memiliki kebiasaan bersedekah yang luar biasa. Bedanya jika Asma’ tidak pernah sabar melihat harta yang ada di tangannya, sementara ‘Aisyah biasa mengumpulkan hartanya terlebih dahulu hingga banyak baru kemudian beliau sedekahkan.

Maka celakalahh bagi mereka yang masih mengagungkan dunia. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pernah menegaskan, “Celakalah hamba dinar dan hamba dinar, (celakalah) hamba qathifah (pakaian yang dihiasai renda-renda yang bergelantung-pent) dan khamishah (selimut persegi empat-pent).” (HR Al-Bukhari).

Dan perlu diketahui bahwa harta kesenangan di dunia hanya ada 3, yaitu apa yang dimakan kemudian lenyap, apa yang dipakai hingga rusak, atau apa yang disedekahkan sehingga kekal lestari. Demikian yang Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam terangkan sebagaimana yang diriwayatkan oleh Shahabat ‘Abdullah bin Asy-Syikhkhir –radhiyallahu ‘anhu– dan direkam oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya.

Sungguh indah sya’ir yang dibawakan Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf An-Nawawi dalam muqaddimah Riyadh Ash-Shalihin min Kalam Sayyid Al-Mursalin,

إِنَّ لِلهِ عِبَادًا فُطَنَا *** طَلَّقُوْا الدُّنْيَا وَ خَافُوْا الْفِتَنَا

نَظَرُوْا فِيْهَا فَلَمَّا عَلِمُوْا *** أَنَّهَا لَيْسَتْ لِحَيٍّ وَطَنَا

جَعَلُوْهَا لُجَّةً وَ اتَّخَذُوْا *** صَالِحَ الْأَعْمَالِ فِيْهَا سُفَنَا

Sesungguhnya Allah memiliki beberapa hamba yang cerdik,

mereka menceraikan dunia karena khawatir bencana

Mereka merenungkan isi dunia, ketika mereka mengetahui bahwa dunia bukanlah tanah air orang yang hidup

Mereka pun menjadikannya laksana samudera dan menjadikan amal shalih sebagai bahteranya

Al-Hafizh An-Nawawi –rahmatullah ‘alaih– mengatakan, “Jika keberadaan dunia adalah seperti yang telah saya kemukakan tadi, dan status kita serta tujuan kita diciptakan adalah seperti yang telah saya sampaikan (untuk mengabdi pada Rabbul ‘alamin), maka sudah semestinya bagi setiap mukallaf membawa dirinya ke jalan orang-orang pilihan dan menepaki jalan orang-orang yang memiliki akal, nalar, dan pikiran.”

Setelah kita mengetahui penjelasan ringkas di atas, sadarlah kita bagaimana seorang mukmin hanya akan bersenang-sedang dan menikmati jerih payahnya di dunia yang penuh dengan duri-duri dan jalan-jalan terjal. Apatah lagi tidak sedikit orang yang mencemooh dan menghina mereka yang terkadang berpenghidupan serba kekurangan, menurut mata telanjang. Padahal sungguhnya kebahagiaan dan kekayaan dalam artian cukup itu hanya ada dalam hati, bukan harta, tahta, wanita, dan keturunan. Sebab betapa kita sering mendengar tidak sedikit orang yang memiliki kekayaan hebat; istana megah, kendaraan mewah, penampilan wah, namun kehidupannya berakhir dengan bunuh diri. Jika memang itu kebahagiaan, lantas mengapa mereka bunuh diri?!

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَ جَنَّةُ الْكَافِرِ

“Dunia itu penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir.”

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan kita kekuatan untuk terus istiqamah menjalankan segala bentuk titah-Nya dan menjauhi sejauh-jauhnya apa yang menjadi larangannya. Wallahua’lam. []

 

Gunung Sempu Yogyakarta, 20 Syawwal 1435 H

Penulis: Firman Hidayat bin Marwadi

Artikel Muslim.Or.Id

Beberapa hari terakhir kamu kehilangan kesadaranmu akan tujuan sebenarnya dari hidup, bahwa tujuan yang sebenarnya adalah ibadah, mengabdi kepada allah, akherat.

Dunia dengan segala halnya yang bersifat sementara tidak bisa kamu jadikan sebuah tujuan, hidup yang sifatnya sementara ini tidak bisa kamu jadikan sebagai tujuan, kalaupun kamu cari atau kamu jadikan sebuah tujuan, karena sifatnya yang sementara hanya akan membuatmu kelelahan sendiri, tiada akhir. Kalau tidak hilang paling berubah, berubah menjadi sesuatu yang entah apa jadinya. Hidup berputar disitu-situ saja dan akan begitu seterusnya , satu hal yang bisa kamu lakukan supaya tidak dipermainkan dunia adalah...

1. Mulailah memikirkan sesuatu yang bersifat fun (menghibur). Mungkin salah satu teman anda pernah melakukan lelucon atau hiburan pada anda. Atau pun mengingat hal terkonyol yang pernah anda lakukan. Ingat jangan pernah memikirkan masalalu yang menurut anda menyedihkan!!. Jangan mau dipermainkan ataupun diperalat oleh dunia yang menipu, yang memberikan sesuatu yang sifatnya sementara dan di bayang-bayangi oleh rasa kesedihan.

Karena pada dasarnya, hidup adalah kesenangan.

Tidak perlu
Hidup tidak bisa di prediksi
Cinta adalah niat dan kesadaran.

Nya nggeus atuh ari geus nyahomah kari jalani, gampang. Tenang.

Bertahan hidup sendiri adalah sudah merupakan tujuan, hal yang ada di dalam kehidupan itu sendiri merupakan subtitusi-subtitusi dari tujuan hidup itu sendiri. Hal-hal tersebut akan datang ataupun terpenuhi seiring berjalannya waktu (semua ada waktunya), sesuai tuntutan, kebutuhan dan keperluan dan tentunya kemampuan.

Terlepas dari itu, tujuan hidup itu sendiri tentunya adalah akherat nanti.

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Rasul junjungan; Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Bagaimanakah orang mukmin memandang dunia?

Orang mukmin adalah sebaik-baik makhluk dalam memanfaatkan dunia. Baginya, dunia bukanlah tempat untuk mencari kepuasan lahiriah semata, karena ada hal yang lebih penting dari sekadar kesenangan duniawi. Menurutnya, kebahagiaan tidak terletak pada materi, namun lebih pada ketentraman hati. Yaitu hati yang disirami oleh cahaya keimanan, hati yang tersentuh oleh panggilan ilahi. Itulah sumber kebahagiaan. Oleh karena itu, ia tidak memandang dunia sebagai tujuan utama hidupnya.

Dunia adalah tempat baginya untuk menyusun dan merencanakan hari esoknya yang lebih cerah. Ketika manusia tertunduk lesu menyesali apa yang telah mereka lakukan dengan muka pucat kebingungan mencari-cari suaka dan pertolongan, ia dengan ‘gagah’ menegakkan wajahnya karena mendapatkan apa yang dulu dijanjikan.

Ketika manusia satu persatu dihinakan di hadapan seluruh makhluk sebagai akibat atas apa yang telah diperbuat, ia dengan tenangnya menghadapi semua itu tanpa rintangan. Ya, itulah hari perhitungan atau dalam istilah syar’i “Yaumul Hisab“. Hari ditimbangnya amalan manusia. Dan hal itu semua tidak akan terjadi, kecuali karena ia menjadikan dunia bukan sebagai tujuan utamanya. Berikut ini pandangan orang mukmin terhadap dunia:

Penjara dunia

Di matanya, dunia tak lebih dari sebuah penjara karena ia tidak bisa bebas sepuas-puasnya. Ia tidak bisa mengumbar nafsu semaunya. Ada aturan yang membatasinya. Jika ia melewati batas itu, ia akan terjungkal sedalam-dalamnya ke lembah kenistaan yang berujung penyesalan. Namun, sebaliknya, bagi orang kafir dunia ini adalah kesenangannya. Dunia ini adalah ‘surga’nya. Ia bebas melakukan apa saja semaunya; tak ada yang melarang. Begitulah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengabarkan, dalam sabdanya;

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ وَجَنَّةُ الْكَافِرِ

“Dunia itu penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir” (HR. Muslim).

Selain itu pun, orang mukmin masih dituntut menjalankan ketaatan-ketaatan  yang memberatkan, yang tidak boleh disia-siakan. Sebagaimana ia juga terlarang melakukan perkara-perkara yang diharamkan. Berikut Rasulullah menegaskan.

إنّ اللَّهَ حدَّ حُدُوداً فلا تَعْتَدُوْهَا وفَرَضَ فَرَائِضَ فلا تُضَيِّعُوْهَا وحَرَّمَ أشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا وتَرَكَ أشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَلكِنْ رَحْمَةً مِنْهُ لَكُمْ فَاقْبِلُوْهَا وَلتَبْحَثُوْافِيْهَا

“Sesungguhnya Allah telah menentukan batasan-batasan, janganlah kalian melampauinya. Juga menetapkan perkara-perkara wajib, janganlah kalian menyia-nyiakannya. Selain itu, juga mengharamkan beberapa hal, jangan pula kalian melanggarnya. Dan mendiamkan beberapa macam perkara, bukan karena lupa, tapi sebagai bentuk kasih sayang kepada kalian, maka terimalah dan janganlah kalian mencari-carinya” (HR. Hakim).

Dunia ibarat lautan dalam

Siapa pun tahu seperti apa laut. Hamparan air yang membentang nan luas, dari ujung pantai ke pantai lainnya, tempat di mana sungai-sungai ‘memuntahkan’ airnya. Pada galibnya, garis-garis pantai adalah titik dangkal di mana manusia bisa menikmati air laut, dengan cara menceburkan diri. Atau tempat di mana perahu-perahu nelayan berlabuh. Sesuatu yang sudah maklum, jika dasar laut itu semakin ke tengah semakin dalam. Sehingga para perenang itu, jika semakin ke tengah berenang, semakin tinggi pula risiko tenggelamnya. Dan jika sudah tenggelam, semakin susah pula selamatnya.

Begitu juga dunia. Ketika masih di pinggiran, ia belum kelihatan menarik di mata. Semakin ke dalam manusia mencari, semakin tampak pula keindahannya. Hingga apabila sudah sampai titik puncaknya, manusia pun dibuat terlena olehnya. Kini, ia bukan hanya  menarik di mata, tetapi juga memikat jiwa. Oleh karena itu, orang mukmin akan ekstra hati-hati ketika menceburkan diri ke dunia, jangan sampai terseret ombak yang akan menjerumuskannya. Sebab jika sudah terjerumus, sangat susah untuk melepaskan diri darinya.

Petiklah nasihat Hasan al-Bashri (wafat 728) berikut, seperti yang diungkap Ibnu Abi Dunya dalam kitabnya Dzamm ad-Dunyâ di halaman 21, “Berhati-hatilah kalian dari menyibukkan diri dengan perkara dunia, karena ia dipenuhi kesibukan. Sesiapa yang berani membuka salah satu pintu kesibukan itu, niscaya akan terbuka untuknya sepuluh pintu kesibukan lainnya, tidak seberapa lama kemudian.”

Oleh sebab itu, kendaraan orang mukmin ketika mengarungi samudera dunia adalah perahu takwa, berdayung iman dan berlayar tawakal. Itulah kunci keselamatan. Sungguh, betapa sedikit yang selamat!

Catatan nabi Ibrahim untuk dunia

Disebutkan dalam lembaran Suhuf nabi Ibrahim kata-kata berikut, “Wahai dunia betapa hinanya dirimu di mata orang baik, meskipun engkau hiasi dirimu sedemikian rupa. Percuma saja, karena Aku telah menyusupkan di hatinya rasa benci dan sikap penolakan terhadapmu. Aku tidak menciptakan sesuatu yang lebih hina di mata-Ku melebihi dirimu. Apa yang ada padamu hanyalah sesuatu yang tidak bernilai, bahkan dirimu pun akan mengalami kefanaan. Sebab telah Aku putuskan, ketika menciptakanmu, engkau tidak abadi dan tidak ada satu pun yang bisa membuatmu abadi, meskipun para pecintamu pelit terhadapmu. Sungguh, beruntunglah orang yang baik itu. Ia senantiasa mengingat-Ku dengan penuh kerelaan, kejujuran, dan istiqamah. Sungguh, beruntunglah ia. Tak ada balasan di sisi-Ku melainkan cahaya yang akan menuntunnya ketika dibangkitkan dari kuburan. Sementara para malaikat akan mengelilinginya hingga Aku penuhi apa yang ia harapkan dari rahmat-Ku.” Begitulah sang Pencipta mensifati bumi, seperti yang ditulis oleh Ibnu Abi Dunya dalam Dzamm ad-Dunyânya.

Bagai makan buah simalakama

Begitulah ungkapan yang tepat menurut orang mukmin. Makan ini salah, makan itu juga salah. Pilih yang ini, yang satunya tidak bisa diraih. Satu dikejar, satunya lagi lepas dari genggaman. Mau, tidak mau, harus ada yang dikorbankan. Begitulah orang mukmin membandingkan dunia dan akhirat. Jika dunia yang dipilih maka akhirat akan terlantarkan. Adapun jika akhirat yang dikejar, dunia tidak maksimal didapatkan. Ingin dapat dua-duanya, sepertinya hampir mustahil. Harus satu yang didahulukan. Ya, dan pilihannya ada pada akhirat. Dengan pertimbangan, jika dunia yang didahulukan, kemungkinan mendapatkan akhirat nol persen. Namun, jika akhirat yang didahulukan, dunia masih bisa didapatkan, meskipun cuma satu persen. Itu lebih baik. Baca dan cermati firman Allah ‘‘Azza wa Jalla berikut (yang artinya), “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi” (QS. al-Qashash [28]: 77).

Apa pesan yang terkandung dari ayat tersebut? Menurut para ahli tafsir, Ibnu Jarir dalam Jami’ al-Bayannya misalnya, hendaknya harta yang Allah berikan itu digunakan untuk kebaikan akhirat, dengan cara mendistribusikannya pada ketaatan dengan tetap memerhatikan bagian kita di dunia, alias tidak melupakannnya. Ambil dan gunakanlah untuk sesuatu yang akan menyelamatkan kita besok dari azab Allah.

Atau, seperti kata as-Sa’di dalam kitab Taisirnya, harta yang diperoleh itu adalah sarana menuju akhirat, maka seyogyanya digunakan untuk mengejar apa yang ada di sisi Allah. Hendaknya disedekahkan dan tidak digunakan untuk pemenuhan syahwat semata. Tidak mengapa jika ingin bersenang-senang dengan dunia, hanya saja jangan sampai membahayakan agama dan akhiratnya. Nah, begitulah seharusnya. Hidup di dunia cuma sekali, itu pun tidak abadi.

Lalu seperti apakah nasib seseorang kelak jika ia mendahulukan dunia? Mendahulukan akhirat, bukan berarti tidak boleh bersenang-senang menikmati dunia. Itu boleh-boleh saja, asalkan jangan sampai terlena dan lupa pada tujuan yang sesungguhnya. Bahkan, seandainya kenikmatan itu digunakan sebagai sarana menuju tujuan yang asasi, yaitu akhirat, itu adalah sesuatu yang sangat bagus. Bukankah demikian?

Di samping itu, hal ini juga akan mengurangi ketergantungan hati pada dunia. Sebab hati tersibukkan oleh perkara akhirat, meskipun secara lahiriah sedang menikmati dunia. Sebaliknya, jika hati disibukkan dengan perkara dunia, ketergantungannya pun pasti ada padanya, meskipun secara lahiriah sedang melakukan amalan akhirat.

“Jika dunia dan akhirat berkumpul dalam satu hati,” begitulah Sayyar Abu Hakam memaparkan yang kemudian dinukil Ibnu Abi Dunya dalam kitabnya Dzamm ad-Dunyâ, “Maka salah satunya akan saling mengalahkan yang lainnya. Siapa pun yang kalah ia akan ikut dan tunduk kepada pemenangnya,”

Inilah waktunya

Mungkin pernah terpikirkan atau bahkan terbayangkan di benak kita, seseorang yang melakukan perjalanan jauh dan kehabisan bekal, lalu di tengah perjalanan singgah dan istirahat sebentar untuk membeli perbekalannya. Apa yang akan diperbuatnya? Tentunya, ia akan memanfaatkan waktu singgahnya yang sebentar itu dengan sebaik-baiknya, dan hanya membeli barang pokok yang dibutuhkannya saja, tanpa menoleh sedikit pun ke barang lainnya, meskipun itu menarik. Sedikit saja ia tertarik kepada barang itu, lalu mulai melihat dan memerhatikannya satu persatu, itu akan menghambat dan memperlambat perjalanannya.

Bahkan, tidak menutup kemungkinan ia akan mengurungkan niat untuk meneruskan perjalanan, karena terlanjur tertarik oleh ‘mainan’ baru itu. Begitu pula dunia ini sejatinya, tidak jauh beda dengan permisalan di atas. Dunia adalah tempat bercocok tanam, dan akhirat adalah tempat panennya. Di sinilah kita berusaha dengan amalan kita, dan di sana nanti kita memetik hasilnya. Sekaranglah saatnya untuk beramal; sebelum datang waktu menyesal. Sebab di sana nanti tidak ada lagi amalan, yang ada hanyalah imbalan, balasan, dan ganjaran. Sekaranglah saatnya, dan inilah waktunya.

Sekecil apa pun amalannya, kita pasti akan mendapatkan ganjaran yang setimpal. Jika amalan itu baik maka akan dilipatgandakan ganjarannya. Jika jelek, maka semisal pula balasannya. Semua akan dipertanyakan dan dimintai pertanggungjawabannya. Tidak ada yang terlewatkan.

Oleh karena itu, gunakanlah waktu ini sebaik-baiknya. Jangan biarkan kesempatan berlalu begitu saja. Manfaatkanlah sebelum jalan buntu menghadang, yaitu kata “terlambat”. Camkanlah nasihat dari orang yang paling mulia berikut:

اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ : شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ

“Gunakanlah lima perkara sebelum datang lima perkara. (1) Mudamu sebelum tuamu; (2) sehatmu sebelum sakitmu; (3) kayamu sebelum miskinmu; (4) waktu senggangmu sebelum waktu sibukmu; dan (5) hidupmu sebelum matimu” (HR. Hakim. Hadis ini sahih berdasarkan persyaratan Bukhari dan Muslim).

Ya, itulah kesempatan satu-satunya. Jika ia dilewatkan begitu saja, ia tidak akan terulang lagi. Kesempatan itu tidak datang dua kali. Perbanyaklah amalan yang berkualitas, dan jangan terlena oleh gemerlapnya dunia. Beramallah dan jangan berpanjang angan-angan. Berusahalah dan jangan memperturutkan hawa nafsu; karena itu menyesatkanmu.

Simaklah petuah yang disebutkan al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Imânnya pada jilid VII halaman 329 berikut ini. Ali bin Abu Thalib menuturkan, “Hai manusia, yang paling aku takutkan atas diri kalian adalah panjangnya angan-angan dan hawa nafsu yang dituruti. Adapun angan-angan yang panjang akan membuatmu lupa akhirat. Sedangkan menuruti hawa nafsu akan membuatmu tersesat dari jalan kebenaran. Ketahuilah, dunia ini pergi membelakangimu, di saat akhirat datang menghadangmu. Setiap masing-masing mempunyai anak, oleh karena itu jadilah anak akhirat, bukan anak dunia. Camkanlah, karena hari ini adalah harinya amalan, bukan perhitungan. Sedangkan besok adalah harinya perhitungan, bukan amalan”.

***

Bersambung ke: Agar Dunia Tak Memenjara (4): Petuah Orang-Orang Bijak

Penulis: Abu Hasan Abdillah, BA., MA.

Artikel Muslim.Or.Id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar