Rabu, 10 Oktober 2018

Tawakal

Manusia diciptakan untuk diuji agar ia beramal sebaik-baiknya .

Allah yang menentukan .

Hal hal buruk akan terus berdatangan kita hanya harus berfokus pada hal baiknya saja .

Kekurangan kelebihan
Menimbulkan masalah
Mengharap kesabaran
Diberikan kelancaran
Karena hidup ujian .

Ada kekuatan yang lebih besar

Unbelieveable

AL-QUR’AN ataupun hadits Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam yang menjadi sumber hukum dan pedoman tersepakati dalam Islam, dibahas berbagai hal tentang masalah kehidupan manusia. Lebih dari itu, kedua sumber hukum yang menjadi pedoman tersebut banyak berbicara terkait persoalan hidup demi kemaslahatan umat manusia.

Oleh karena itu, kita beruntung bisa memperoleh hidayah memeluk agama Islam. Kita menjadi makin beruntung jika kita mengamalkan ajaran agama Islam yang penuh dengan ajaran kasih sayang dan kebajikan tersebut.

Secara akidah, Islam mengajarkan tentang tauhid, yakni bertuhan dengan satu Tuhan. Ketika agama lain mengajarkan banyak tuhan, Islam hanya mengajarkan tentang satu Tuhan Yang Mahakuasa dan kekuasaan-Nya lebih dari segala tuhan yang ada. Meski demikian, Islam juga mengajarkan toleransi terhadap agama lain yang bertuhan lebih dari satu tuhan dengan ketentuan-ketentuan tertentu.

Islam tidak sekadar mengajarkan teologi, tetapi juga mengajarkan berkehidupan, baik secara individual maupun sosial, baik secara vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu, jika kita mengamalkan ajaran Islam, kita bisa mengatasi segala permasalahan hidup dan memercayakan kepada Allah tentang segala ketentuan dan kehendak-Nya.

Galau? Apalagi sekadar galau, Islam memberikan ajaran-ajaran sebagai solusi kegalauan kita. Move on? Tentunya Islam mengajarkan kita move on yang sesuai dengan syariat demi maslahat. Di dalam al-Qur’an saja terdapat berbagai ayat motivasi untuk menggugah semangat berkehidupan. Di dalam beberapa riwayat hadits pun demikian, ada banyak riwayat yang matannya menguraikan motivasi yang memicu untuk tumbuhnya semangat.

Ketika kita galau karena suatu musibah atau masalah, Islam membawakan ajaran penting untuk move on. Lebih dari sekadar bisa move on, Islam juga menyisipkan sisi religiusitas agar kita juga mendalami keislaman serta sadar diri tentang keberadaan Allah.

Allah menegaskan dalam al-Qur’an:

“(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’ (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS al-Baqarah [2] 156-157)

Dari ayat tersebut kita bisa memahami betapa al-Qur’an memberikan kita pedoman ketika kita menghadapi musibah atau masalah yang membuat kita galau. Cara move on yang diajarkan menurut ayat tersebut dengan mengucap lafal tarji’, sebagaimana tertera dalam ayat di atas, yakni:

“Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.”

Lafal tarji’ tersebut pada dasarnya bukan sekadar diucapkan, melainkan dihayati dan didalami maknanya. Dari pemaknaan lafal tarji’ tersebut, kita menyadari bahwa kita memang milik Allah dan hanya kepada Allah pula kita kembali. Dengan demikian, kita menjadi sadar bahwa kita hanyalah kecil dan tidak ada apa-apa dibandingkan Allah Yang Mahabesar. Lebih dari itu, karena kita milik Allah dan segalanya juga milik-Nya, kita akan kembali kepada-Nya ketika diminta.

Islam mengajarkan cara move on dari galau yang demikian. Oleh karenanya, selain kita bisa move on, kita juga makin sadar diri bahwa kita memang tidak berhak atas segala sesuatu, kecuali hanya karena izin Allah. Ketika kita move on dengan cara yang demikian, kita akan makin meyakini bahwa Allah Mahakuasa dan Mahaada. Untuk itu, kita menjadi bergantung kepada Allah dan memang hanya kepada-Nya kita bergantung.

Selain itu, ayat tersebut juga mengajarkan kita tentang tawakal dan kepasrahan. Artinya, jika kita menginginkan sesuatu, kita harus berusaha dan mengiringinya dengan doa. Yang penting, kita telah melakukan usaha dan doa, selebihnya kita pasrahkan kepada Allah. Dengan demikian, hal itu menjadi sangat logis dan masuk akal.

Tetapi Islam tidak mengajarkan kepasrahan belaka tanpa usaha. Misalkan, kita ingin kaya, tetapi kita tidak berusaha (bekerja dengan sungguh-sungguh) untuk menjadi orang kaya dan kita juga enggan berdoa kepada Allah, kecuali hanya pasrah, nah semacam ini penyimpangan nyata. Islam tidak mengajarkan seperti itu. Islam mengajarkan kita agar mau bekerja dan berdoa serta memasrahkan hasilnya kepada Allah.

Saat menjalani hidup justru kita menemui musibah atau masalah yang bikin galau, kita sepenuhnya sadar bahwa Allah memang berada di balik semua hal yang terjadi. Semua pasti ada hikmahnya dan kita tinggal mengucapkan lafal tarji’ yang kita sertai dengan pemaknaan lafal tersebut secara khusyuk. Setelah itu, move on lagi kemudian berusaha dan berdoa. Selebihnya, kita pasrahkan kepada Allah. Itulah tawakal dan kepasrahan yang diajarkan oleh agama kita, Islam yang rahmatan lil ‘alamin.*/Ali Abdullah, dari bukunya Galau Secukupnya Move On Secepatnya

Rep: Admin Hidcom
Editor: Syaiful Irwan

TAWAKAL: Kunci Kekuatan dan Kelapangan Hati Seorang Mukmin
Ummu Sa'id August 24, 2013 17 Comments

Seringkali dijumpai dalam firman-Nya, Allah Ta’ala menyandingkan antara tawakal dengan orang-orang yang beriman. Hal ini menandakan bahwa tawakal merupakan perkara yang sangat agung, yang tidak dimiliki kecuali oleh orang-orang mukmin. Bagian dari ibadah hati yang akan membawa pelakunya ke jalan-jalan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Diantara firman-Nya tentang tawakal ketika disandingkan dengan orang-orang beriman, “… dan bertaqwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang beriman bertawakal” (QS. Al Ma’idah: 11).

Dan firman-Nya,” Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabla dibacakan ayat-ayatNya kepada mereka, bertambahlah imannya, dan hanya kepada Rabb mereka bertawakal” (QS. Al Anfal : 2).

Tentunya masih banyak ayat lain dalam Al Qur’an yang berisi tentang tawakal, demikian pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun apakah itu sebenarnya tawakal? Pada pembahasan selanjutnya akan dibahas lebih terperinci mengenai tawakal.

Definisi tawakal

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hakikat tawakal adalah hati benar-benar bergantung kepada Allah dalam rangka memperoleh maslahat (hal-hal yang baik) dan menolak mudhorot (hal-hal yang buruk) dari urusan-urusan dunia dan akhirat”

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tawakal adalah menyandarkan permasalahan kepada Allah dalam mengupayakan yang dicari dan menolak apa-apa yang tidak disenangi, disertai percaya penuh kepada Allah Ta’ala dan menempuh sebab (sebab adalah upaya dan aktifitas yang dilakukan untuk meraih tujuan) yang diizinkan syari’at.”

Tawakal Bukan Pasrah Tanpa Usaha

Dari definisi sebelumnya para ulama menjelaskan bahwa tawakal harus dibangun di atas dua hal pokok yaitu bersandarnya hati kepada Allah dan mengupayakan sebab yang dihalalkan. Orang berupaya menempuh sebab saja namun tidak bersandar kepada Allah, maka berarti ia cacat imannya. Adapun orang yang bersandar kepada Allah namun tidak berusaha menempuh sebab yang dihalalkan, maka ia berarti cacat akalnya.

Tawakal bukanlah pasrah tanpa berusaha, namun harus disertai ikhtiyar/usaha. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan contoh tawakal yang disertai usaha yang memperjelas bahwa tawakal tidak lepas dari ikhtiyar dan penyandaran diri kepada Allah.

Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)

Tidak kita temukan seekor burung diam saja dan mengharap makanan datang sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan ini, jelas sekali bahwa seekor burung pergi untuk mencari makan, namun seekor burung keluar mencari makan disertai keyakinan akan rizki Allah, maka Allah Ta’ala pun memberikan rizkiNya atas usahanya tersebut.

Syarat-Syarat Tawakal

Untuk mewujudkan tawakal yang benar dan ikhlas diperlukan syarat-syarat. Syarat-syarat ini wajib dipenuhi untuk mewujudkan semua yang telah Allah janjikan. Para ulama menyampaikan empat syarat terwujudnya sikap tawakal yang benar, yaitu:

1. Bertawakal hanya kepada Allah saja. Allah berfirman: “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabb-mu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Huud: 123).

2. Berkeyakinan yang kuat bahwa Allah Maha mampu mewujudkan semua permintaan dan kebutuhan hamba-hamba-Nya dan semua yang didapatkan hamba hanyalah dengan pengaturan dan kehendak Allah. Allah berfirman,“Mengapa kami tidak bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri.” (QS. Ibrahim: 12).

3. Yakin bahwa Allah akan merealisasikan apa yang di-tawakal-kan seorang hamba apabila ia mengikhlaskan niatnya dan menghadap kepada Allah dengan hatinya. Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.“ (QS. Ath-Thalaq: 3).

4. Tidak putus asa dan patah hati dalam semua usaha yang dilakukan hamba dalam memenuhi kebutuhannya dengan tetap menyerahkan semua urusannya kepada Allah. Allah berfirman, “Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung.’”(QS. At-taubah: 129).

Apabila seorang hamba bertawakal kepada Allah dengan benar-benar ikhlas dan terus mengingat keagungan Allah, maka hati dan akalnya serta seluruh kekuatannya akan semakin kuat mendorongnya untuk melakukan semua amalan. Dengan besarnya tawakal kepada Allah akan memberikan keyakinan yang besar sekali bahkan membuahkan kekuatan yang luar biasa dalam menghadapi tantangan dan ujian yang berat. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apabila Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya maka tidak ada yang bisa menyingkapnya selain Dia, dan apabila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang bisa menolak keutamaan dari-Nya. Allah timpakan musibah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 107)

Dengan mendasarkan diri pada keyakinan bahwa hanya Allah saja yang dapat memberikan kemudharatan maka seorang mukmin tidak akan gentar dan takut terhadap tantangan dan ujian yang melanda, seberapapun besarnya, karena dia yakin bahwa Allah akan menolong hambaNya yang berusaha dan menyandarkan hatinya hanya kepada Allah. Dengan keyakinan yang kuat seperti inilah muncul mujahid-mujahid besar dan ulama-ulama pembela agama Islam yang senantiasa teguh di atas agama Islam walaupun menghadapi ujian yang besar, bahkan mereka rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk agama Islam.

Tawakal yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala akan menjadikan hati seorang mukmin ridha kepada segala ketentuan dan takdir Allah, yang ini merupakan ciri utama orang yang telah merasakan kemanisan dan kesempurnaan iman. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”

Setiap hari, dalam setiap sholat, bahkan dalam setiap raka’at sholat kita selalu membaca ayat yang mulia, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’; hanya kepada-Mu ya Allah kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan… Oleh sebab itu bagi seorang mukmin, tempat menggantungkan hati dan puncak harapannya adalah Allah semata, bukan selain-Nya. Kepada Allah lah kita serahkan seluruh urusan kita.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada Allah saja hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar beriman.” (QS. al-Ma’idah: 23). Ayat yang mulia ini menunjukkan kewajiban menyandarkan hati semata-mata kepada Allah, karena tawakal adalah termasuk ibadah.

Tawakal yang Salah

Kesalahan dalam memahami dan mengamalkan tawakal akan menyebabkan rusaknya iman dan bisa menyebabkan terjadi kesalahan fatal dalam agama, bahkan bisa terjerumus dalam kesyirikan, baik syirik akbar (syirik besar) maupun syirik asghar (syirik kecil). Adapun kesalahan dalam tawakal yang menyebabkan terjerumus dalam syirik akbar adalah seseorang bertawakal kepada selain Allah, dalam perkara yang hanya mampu diwujudkan oleh Allah. Misalnya: bertawakal kepada makhluk dalam perkara kesehatan, bersandar kepada makhluk agar dosa-dosanya diampuni atau bertawakal kepada makhluk dalam kebaikan di akhirat atau bertawakal dalam meminta anak sebagaimana yang dilakukan para penyembah kubur wali.

Adapus jenis tawakal yang termasuk dalam syirik asghar adalah bertawakal kepada selain Allah yang Allah memberikan kemampuan kepada makhluk untuk memenuhinya. Misalnya: bertawakalnya seorang istri kepada suami dalam nafkahnya, bertawakalnya seorang karyawan kepada atasannya. Termasuk dalam syirik akbar maupun asghar keduanya merupakan dosa besar yang tidak akan terampuni selama pelakunya tidak bertaubat darinya.

Penutup

Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa kesempurnaan iman dan tauhid seorang hamba ditentukan oleh sejauh mana ketergantungan hatinya kepada Allah semata dan upayanya dalam menolak segala sesembahan dan tempat berlindung selain-Nya. Jika kita yakin bahwa Allah ta’ala yang menguasai hidup dan mati kita, mengapa kita menyandarkan hati kita kepada makhluk yang lemah yang tidak bisa memberikan manfaat dan mudharat kepada kita?

Artikel Muslimah.Or.Id

Penulis: Ummu Hanif Devi Novianti

Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Minggu, 07 Oktober 2018

Ragu .

Sudah Benarkah Calon Istriku ?

Suganda – Rabu, 18 Rabiul Akhir 1430 H / 15 April 2009 22:50 WIB

Assalamu’alaikum wr.wb

Yang terhormat Bapak Satria Hadi Lubis, rencananya tahun depan saya akan menikah, tapi saya masih ragu terhadap keputusan calon pasangan saya untuk bisa menjadi seorang istri  yang baik yang bisa membimbing keluarga dan anak-anak sesuai dengan ajaran agama Islam. Perlu diketahui bahwasannya calon istri saya dulunya punya sifat cendrung nakal, tetapi Alhamdulillah sampai saat ini saya dan keluarganya sedikit banyak telah berhasil mengarahkannya ke jalan yang benar meskipun belum 100 %.Adapun yang menjadi pertanyaan saya adalah :

Dengan cara yang bagaimana sehingga saya bisa meyakinkan hati saya bahwasanya calon istri  saya memang benar-benar sudah siap untuk menikah dan menjadi seorang istri yang baik yang bisa membimbing keluarga dan anak-anak sesuai/berdasarkan ajaran agama ISalam …??

Adakah cara yang bisa menjamin agar nantinya saya sudah berumah tangga calon istri saya tidak lagi terjangkit oleh sifat nakalnya yang mungkin pada saat ini belum bisa 100 % di hilangkan …??

Sebelumnya, atas bimbingan dan jawaban Bapak berikan saya ucapkan terima kasih…

Wassalamu’alikum wr.wb

Saudaraku yang dirahmati Allah SWT, Anda bimbang apakah calon isteri Anda sudah benar-benar baik dan dapat menjadi isteri yang sholihah kelak. Kebimbangan ini menurut saya adalah hal yang wajar, dan hal ini bukan saja terjadi pada diri Anda tapi banyak pasangan lain yang akan menikah. Mungkin kekhawatiran yang sama juga ada di pihak wanita, apakah calon suaminya dapat menjadi suami yang sholih dan mampu membimbing isteri dan anak-anaknya kelak untuk mencapai ridho Allah SWT.
Saudaraku, agar Anda dapat mengurangi kebimbangan tersebut (untuk menghilangkannya 100% mungkin sulit ya. Apalagi menjaminnya. Karena tidak ada seorang pun yang tahu masa depan orang lain), maka Anda dapat memperhatikan perilakunya sekarang ini. Apakah ia benar-benar sudah banyak berubah dan meninggalkan kebiasaan buruknya di masa lalu? Apakah ia lebih sering membicarakan hal-hal yang positif tentang dirinya, tentang hubungannya dengan Anda dan tentang masa depannya berdua dengan Anda? Jika jawabannya iya, Anda tidak perlu ragu lagi untuk menikahinya. Masa lalunya yang kelam jangan lagi diingat-ingat, apalagi sampai diungkit ketika suatu ketika Anda berselisih dengannya. Hal itu hanya menambah persoalan. Beri dia kesempatan untuk memperbaiki dirinya. Jika ia saat ini belum berubah 100% maka tugas Anda lah untuk membimbimbingnya dengan penuh kesabaran. Jika Anda sabar, insya Allah Anda akan mendapatkan pahala yang berlimpah ruah dari Allah SWT karena bersedia dengan sabar membimbing orang lain (apalagi orang tersebut adalah orang yang Anda cintai).
Jika Anda ingin agar perubahan isteri lebih cepat ajak ia untuk lebih sering mendengarkan ceramah agama secara rutin (mengikuti pengajian). Misalnya, dengan mengajak nya ikut organisasi pemuda/remaja mesjid, perkumpulan majelis ta’lim, atau forum-forum tarbiyah (pengajian) yang ada di kantor/kampus tertentu. Sebaiknya hal ini Anda lakukan sebelum menikah dengannya. Jangan tunggu memperbaiki calon isteri setelah menikah dengannya dengan alasan saya belum ‘berhak’ mengaturnya. Lakukan lebih dini sebelum menikah, sehingga Anda dapat mengetahui apakah ia benar-benar ingin berubah atau tidak. Orang yang ingin sungguh-sungguh berubah biasanya dengan ringan akan meninggalkan kebiasaan lamanya,
Perlu diketahui juga bahwa seseorang itu akan berubah karena tiga faktor : lingkungan yang baik, coach (pembimbing) yang sabar dan doa yang intensif dari orang-orang yang mencintainya. Lakukan bimbingan dengan gigih kepada calon isteri Anda tersebut. Anda harus mempunyai slogan, “jika ia (calon isteri Anda) sabar untuk tidak berubah dengan cepat, saya harus lebih sabar lagi membimbingnya. Ayo kita berlomba siapa yang paling sabar di antara kita!”. Saya percaya, banyak masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan asalkan kita lebih sabar menghadapi permasalahan tersebut.
Demikianlah saran saya dan semoga bermanfaat.

Salam Berkah!

(Satria Hadi Lubis)

Mentor Kehidupan

Kala Ragu Datang Melanda, Apa yang Harus Dilakukan???
Bimbang dan ragu terkadang datang menghampiri kita makhluk-Nya. Menandakan betul betapa lemah dan rapuhnya kita. Untuk mengambil keputusan sekecil apapun, bersitan rasa ragu hadir. Ragu dan bimbang ketika dihadapkan pada dua atau banyak pilihan. Entah akhirnya menjadi besar atau kemudian sirna.

Banyak yang ketika saat untuk memilih pasangan hidup tiba menjadi ragu-ragu dan bimbang. Begitu halnya dengan saya dulu. Aduh, betul tidak pilihan saya? Kata jangan-jangan masih terekam di benak. Gelisah…. bingung…. gimana enaknya ya. Menerima yang satu dan menolak yang lain tanpa alasan syar’i kadang menimbulkan perasaan berdosa. Wajar tidak ya?

Kebebasan untuk memilih calon pasangan itu bukan saja pada laki-laki, namun kita muslimah juga punya hak untuk memilih dan juga hak untuk menolak, meski alasannya misal hanya masalah tampang yang kurang menarik. Hal itu dibenarkan dan ada dasarnya dari sumber hadits yang terpercaya, misalnya hadits berikut ini:

Dari Ibnu Abbas berkata bahwa Jamilah binti Salul mendatangi Nabi dan berkata,
“Demi Allah, aku tidak mencela Tsabit (suaminya) dalam masalah agama dan akhlaqnya. Namun aku membenci kekufuran dalam Islam.”
Maka Rasulullah Saw berkata,
“Apakah kamu siap untuk mengembalikan kebun kepada suamimu?”.
Dia menjawab, “Ya”.
Maka beliau memerintahkan Tsabit untuk mengambil kebun Jamilah tanpa tambahan”. (HR Ibnu Majah).

Dalam riwayat Tabari dijelaskan bahwa yang menjadi alasan Jamilah untuk minta cerai dari suaminya itu adalah karena suaminya (Tsabit bin Qais) kulitnya hitam legam, pendek dan mukanya jelek.
Dari Khansa’ bin Khadam Al-Anshariyah bahwa ayahnya menikahkannya dan dia seorang janda dan dia tidak suka. Maka dia datang kepada Rasulullah dan ditolaklah nikahnya. (HR. Bukhari 9: 194).

Yang lebih bikin pusing justru ketika pilihan sudah dijatuhkan, eh keraguan masih ada. Ya.. Allah kenapa rasa mantap itu masih belum ada ya. Malah bikin tambah puyeng.
Allah memberikan kita alternatif dengan sholat istikharah. Dia yang Menguasai hati dan Maha membolakbalikannya. Kalaupun hasilnya masih nihil mungkin kita harus introspeksi akan kualitasnya. Siapa tahu masih dikotori oleh keinginan dan kecondongan pribadi. Belum tentu yang menurut pandangan kita dan manusia umumnya jelek, itu yang jelek menurut Allah juga sebaliknya. Allah tidak mengenal fungsi waktu, Allah yang Maha Tahu yang terbaik bagi kita. Kita minta dari-Nya yang terbaik bagi diri kita.

Saya belajar bahwa keraguan identik dengan rasa takut. Takut menghadapi konsekuensi dan resiko dari pilihan kita. Apa jadinya kalau pilihan saya salah.
Belum terjadi apa-apa sudah cemas. Bayangan-bayangan buruk lantas berseliweran. Di sini kita perlu memaknai betul-betul arti tawakkal. Berserah diri pada-Nya semata. Keraguan dihembus-hembuskan syetan untuk menjauhkan kita dari rasa tawakkal. Keyakinan tidak ada yang bakal terjadi kecuali dengan ijin Allah. Kepasrahan dalam tingkat yang seutuhnya. Bahwa kita ini makhluk, hamba-Nya.
Ketika permintaan kepada Allah untuk dimantapkan hati sudah dilakukan dan keputusan diambil. Dapat dikatakan sudah selesai tugas kita. Kita telah membulatkan niat dan menguatkan ikhtiar. Pasrahkan semuanya pada-Nya. Berprasangka baik pada-Nya.

Kembali soal pasangan hidup, Allah sendiri sudah menjamin, “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga)”. (Al-Qur’an 24:26).
Apakah pasangan hidup kita sebanding dan cukup baik bagi kita? Keimanannya bagus, rupawan, kaya, hanif? Tentunya kita bisa mendapatkannya sesuai dengan janji Allah tersebut jika kita pun meningkatkan kesholehan kita, keimanan kita, dan kualitas kita. Jika kita pun sebanding dengannya. Seperti apa kita, seperti itu juga cerminan pasangan hidup kita.
Semoga Allah memberikan kita kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi segala ‘ketidakpastian’ dunia, dan senantiasa diberi kemampuan untuk bertawakkal pada-Nya. Amien ya Rabbal ‘alamin.
Wallahu’Alam bishshowab.

“Dan nikahkanlah orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak nikah di antara hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karuniaNya, dan Allah Maha Luas pemberianNya lagi Maha Mengetahui”. (An Nur: 32)
Di copas dari blog seorang Ukhtiy…
NB dari ukhtiyfillah:
Jadi kesimpulah yang dapat di ambil dari pelajaran kita hari ini adalah,
Bahwa muslimah pun memiliki hak yang sama dalam memilih dan menentukan calon pasangan hidupnya. Ia berhak menolak jika ia tidak memiliki ketertarikan hati dengan calon pasangannya meskipun hal tersebut hanya berupa alasan fisik. Dan hal tersebut dibenarkan serta memiliki dasar berupa hadist-hadist terpercaya dari Rasulullh Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Saat keraguan datang tanpa alasan yang jelas dalam memilih calon pasangan hidup yang akan menemani selama hidup meski tak ada lagi faktor yang menguatkan untuk kita menolaknya, maka hal yang bisa dilakukan adalah meminta petunjuk dari Allah dengan shalat istakharah. Karena hanya Allah yang paling mengetahui apa yang terbaik buat kita.
Yakin dan resapi makna ayat “...wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula)…” (Al-Qur’an 24:26). Maka kita pasti akan semakin yakin.
Nah insyaAllah jika sudah melakukan hal itu semua maka yakin deh perasaan ragu dalam diri kita akan berkurang sedikit demi sedikit. Wajar jika masih terbetik sedikit rasa ragu dihati. Karena itulah fithrahnya manusia. Dan mungkin juga bisikan-bisikan dari setan yang berusaha menghalang-halangi kita dari mengerjakan sunnah menikah yang mulia ini.
Terakhir, ukhtiyfillah ucapkan, selamat mencoba tips-tips ini bagi ukhtiy yang berniat akan segera melepas masa kesendiriannya. Barakallahu

Selasa, 02 Oktober 2018

Wondering ?

Penyelesaian, Ikhlas, tidak mempercayai hal tersebut, distorsi pikiran, lihat sisi positifnya, manfaat

Mengapa bekerja itu harus melelahkan ? Ujian

Bukan masalah bekerja harus melelahkan atau tidak, tetapi kita harus tetap menghasilkan uang, hanya saja posisi kita saat ini ada pada bidang pekerjaan yang melelahkan ,karena ada saja sesuatu yang menghasilkan uang tapi tidak melelahkan.

Pengertian Ikhlas

   

PENGERTIAN IKHLAS

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ : إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ أَمْوَالِكُمْ وَ لَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَ أَعْمَالِكُمْ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi Shallallahu ‘alihi wa sallam telah bersabda,”Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada rupa kalian, juga tidak kepada harta kalian, akan tetapi Dia melihat kepada hati dan amal kalian”.

Dalam mendefinisikan ikhlas, para ulama berbeda redaksi dalam menggambarkanya. Ada yang berpendapat, ikhlas adalah memurnikan tujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah mengesakan Allah dalam beribadah kepadaNya. Ada pula yang berpendapat, ikhlas adalah pembersihan dari pamrih kepada makhluk.

Al ‘Izz bin Abdis Salam berkata : “Ikhlas ialah, seorang mukallaf melaksanakan ketaatan semata-mata karena Allah. Dia tidak berharap pengagungan dan penghormatan manusia, dan tidak pula berharap manfaat dan menolak bahaya”.

Al Harawi mengatakan : “Ikhlas ialah, membersihkan amal dari setiap noda.” Yang lain berkata : “Seorang yang ikhlas ialah, seorang yang tidak mencari perhatian di hati manusia dalam rangka memperbaiki hatinya di hadapan Allah, dan tidak suka seandainya manusia sampai memperhatikan amalnya, meskipun hanya seberat biji sawi”.

Abu ‘Utsman berkata : “Ikhlas ialah, melupakan pandangan makhluk, dengan selalu melihat kepada Khaliq (Allah)”.

Abu Hudzaifah Al Mar’asyi berkata : “Ikhlas ialah, kesesuaian perbuatan seorang hamba antara lahir dan batin”.

Abu ‘Ali Fudhail bin ‘Iyadh berkata : “Meninggalkan amal karena manusia adalah riya’. Dan beramal karena manusia adalah syirik. Dan ikhlas ialah, apabila Allah menyelamatkan kamu dari keduanya”.[1]

Ikhlas ialah, menghendaki keridhaan Allah dalam suatu amal, membersihkannya dari segala individu maupun duniawi. Tidak ada yang melatarbelakangi suatu amal, kecuali karena Allah dan demi hari akhirat. Tidak ada noda yang mencampuri suatu amal, seperti kecenderungan kepada dunia untuk diri sendiri, baik yang tersembunyi maupun yang terang-terangan, atau karena mencari harta rampasan perang, atau agar dikatakan sebagai pemberani ketika perang, karena syahwat, kedudukan, harta benda, ketenaran, agar mendapat tempat di hati orang banyak, mendapat sanjungan tertentu, karena kesombongan yang terselubung, atau karena alasan-alasan lain yang tidak terpuji; yang intinya bukan karena Allah, tetapi karena sesuatu; maka semua ini merupakan noda yang mengotori keikhlasan.

Landasan niat yang ikhlas adalah memurnikan niat karena Allah semata. Setiap bagian dari perkara duniawi yang sudah mencemari amal kebaikan, sedikit atau banyak, dan apabila hati kita bergantung kepadanya, maka kemurniaan amal itu ternoda dan hilang keikhlasannya. Karena itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, mencari kedudukan dan popularitas, maka tindakan dan perilakunya mengacu pada sifat tersebut, sehingga ibadah yang ia lakukan tidak akan murni, seperti shalat, puasa, menuntut ilmu, berdakwah dan lainnya.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berpendapat, arti ikhlas karena Allah ialah, apabila seseorang melaksanakan ibadah yang tujuannya untuk taqarrub kepada Allah dan mencapai tempat kemuliaanNya.

SULITNYA MEWUJUDKAN IKHLAS
Mewujudkan ikhlas bukan pekerjaan yang mudah seperti anggapan orang jahil. Para ulama yang telah meniti jalan kepada Allah telah menegaskan sulitnya ikhlas dan beratnya mewujudkan ikhlas di dalam hati, kecuali orang yang memang dimudahkan Allah.

Imam Sufyan Ats Tsauri berkata,”Tidaklah aku mengobati sesuatu yang lebih berat daripada mengobati niatku, sebab ia senantiasa berbolak-balik pada diriku.” [2]

Karena itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a:

يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ، ثَبِّتْ قَلْبِيْ عَلَى دِيْنِكَ

Ya, Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agamaMu.

Lalu seorang sahabat berkata,”Ya Rasulullah, kami beriman kepadamu dan kepada apa yang engkau bawa kepada kami?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Ya, karena sesungguhnya seluruh hati manusia di antara dua jari tangan Allah, dan Allah membolak-balikan hati sekehendakNya. [HR Ahmad, VI/302; Hakim, I/525; Tirmidzi, no. 3522, lihat Shahih At Tirmidzi, III/171 no. 2792; Shahih Jami’ush Shagir, no.7987 dan Zhilalul Jannah Fi Takhrijis Sunnah, no. 225 dari sahabat Anas].

Yahya bin Abi Katsir berkata,”Belajarlah niat, karena niat lebih penting daripada amal.” [3]

Muththarif bin Abdullah berkata,”Kebaikan hati tergantung kepada kebaikan amal, dan kebaikan amal bergantung kepada kebaikan niat.” [4]

Pernah ada orang bertanya kepada Suhail: “Apakah yang paling berat bagi nafsu manusia?” Ia menjawab,”Ikhlas, sebab nafsu tidak pernah memiliki bagian dari ikhlas.” [5]

Dikisahkan ada seorang ‘alim yang selalu shalat di shaf paling depan. Suatu hari ia datang terlambat, maka ia mendapat shalat di shaf kedua. Di dalam benaknya terbersit rasa malu kepada para jama’ah lain yang melihatnya. Maka pada saat itulah, ia menyadari bahwa sebenarnya kesenangan dan ketenangan hatinya ketika shalat di shaf pertama pada hari-hari sebelumnya disebabkan karena ingin dilihat orang lain. [6]

Yusuf bin Husain Ar Razi berkata,”Sesuatu yang paling sulit di dunia adalah ikhlas. Aku sudah bersungguh-sungguh untuk menghilangkan riya’ dari hatiku, seolah-olah timbul riya, dengan warna lain.” [7]

Ada pendapat lain, ikhlas sesaat saja merupakan keselamatan sepanjang masa, karena ikhlas sesuatu yang sangat mulia. Ada lagi yang berkata, barangsiapa melakukan ibadah sepanjang umurnya, lalu dari ibadah itu satu saat saja ikhlas karena Allah, maka ia akan selamat.

Masalah ikhlas merupakan masalah yang sulit, sehingga sedikit sekali perbuatan yang dikatakan murni ikhlas karena Allah. Dan sedikit sekali orang yang memperhatikannya, kecuali orang yang mendapatkan taufiq (pertolongan dan kemudahan) dari Allah. Adapun orang yang lalai dalam masalah ikhlas ini, ia akan senantiasa melihat pada nilai kebaikan yang pernah dilakukannya, padahal pada hari kiamat kelak, perbuatannya itu justru menjadi keburukan. Merekalah yang dimaksudkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَبَدَا لَهُم مِّنَ اللهِ مَالَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَاكَسَبُوا وَحَاقَ بِهِم مَّاكَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِءُونَ

Dan jelaslah bagi mereka adzab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan.Dan jelaslah bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat … [Az Zumar : 47-48]

قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِاْلأَخْسَرِينَ أَعْمَالاً الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا

Katakanlah:”Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya”. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedang mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. [Al Kahfi : 103-104].[8]

Bila Anda melihat seseorang, yang menurut penglihatan Anda telah melakukan amalan Islam secara murni dan benar, bahkan boleh jadi dia juga beranggapan seperti itu. Tapi bila Anda tahu dan hanya Allah saja yang tahu, Anda mendapatkannya sebagai orang yang rakus terhadap dunia, dengan cara berkedok pakaian agama. Dia berbuat untuk dirinya sendiri agar dapat mengecoh orang lain, bahwa seakan-akan dia berbuat untuk Allah.

Ada lagi yang lain, yaitu beramal karena ingin disanjung, dipuji, ingin dikatakan sebagai orang yang baik, atau yang paling baik, atau terbetik dalam hatinya bahwa dia sajalah yang konsekwen terhadap Sunnah, sedangkan yang lainnya tidak.

Ada lagi yang belajar karena ingin lebih tinggi dari yang lain, supaya dapat penghormatan dan harta. Tujuannya ingin berbangga dengan para ulama, mengalahkan orang yang bodoh, atau agar orang lain berpaling kepadanya. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengancam orang itu dengan ancaman, bahwa Allah akan memasukkannya ke dalam neraka jahannam. Nasalullaha As Salamah wal ‘Afiyah. [9]

Membersihkan diri dari hawa nafsu yang tampak maupun yang tersembunyi, membersihkan niat dari berbagai noda, nafsu pribadi dan duniawi, juga tidak mudah. memerlukan usaha yang maksimal, selalu memperhatikan pintu-pintu masuk bagi setan ke dalam jiwa, membersihkan hati dari unsur riya’, kesombongan, gila kedudukan, pangkat, harta untuk pamer dan lainnya.

Sulitnya mewujudkan ikhlas, dikarenakan hati manusia selalu berbolak-balik. Setan selalu menggoda, menghiasi dan memberikan perasaan was-was ke dalam hati manusia, serta adanya dorongan hawa nafsu yang selalu menyuruh berbuat jelek. Karena itu kita diperintahkan berlindung dari godaan setan. Allah berfirman, yang artinya : Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. [Al A’raf : 200].

Jadi, solusi ikhlas ialah dengan mengenyahkan pertimbangan-pertimbangan pribadi, memotong kerakusan terhadap dunia, mengikis dorongan-dorongan nafsu dan lainnya.

Dan bersungguh-sunguh beramal ikhlas karena Allah, akan mendorong seseorang melakukan ibadah karena taat kepada perintah Allah dan Rasul, ingin selamat di dunia-akhirat, dan mengharap ganjaran dari Allah.

Upaya mewujudkan ikhlas bisa tercapai, bila kita mengikuti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jejak Salafush Shalih dalam beramal dan taqarrub kepada Allah, selalu mendengar nasihat mereka, serta berupaya semaksimal mungkin dan bersungguh-sungguh mengekang dorongan nafsu, dan selalu berdo’a kepada Allah Ta’ala.

HUKUM BERAMAL YANG BERCAMPUR ANTARA IKHLAS DAN TUJUAN-TUJUAN LAIN
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ’Utsaimin menjelaskan tentang seseorang yang beribadah kepada Allah, tetapi ada tujuan lain. Beliau membagi menjadi tiga golongan.

Pertama : Seseorang bermaksud untuk taqarrub kepada selain Allah dalam ibadahnya, dan untuk mendapat sanjungan dari orang lain. Perbuatan seperti membatalkan amalnya dan termasuk syirik, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah berfirman:

أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ ، مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيْهِ مَعِي غَيْرِيْ تَرَكْتُهُ وَ شِرْكَهُ

Aku tidak butuh kepada semua sekutu. Barangsiapa beramal mempersekutukanKu dengan yang lain, maka Aku biarkan dia bersama sekutunya. [HSR Muslim, no. 2985; Ibnu Majah, no. 4202 dari sahabat Abu Hurairah].

Kedua : Ibadahnya dimaksudkan untuk mencapai tujuan duniawi, seperti ingin menjadi pemimpin, mendapatkan kedudukan dan harta, tanpa bermaksud untuk taqarrub kepada Allah. Amal seperti ini akan terhapus dan tidak dapat mendekatkan diri kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَيُبْخَسُونَ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي اْلأَخِرَةِ إِلاَّ النَّارَ وَحَبِطَ مَاصَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّاكَانُوا يَعْمَلُونَ

Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia tidak dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan. [Hud : 15-16].

Perbedaan antara golongan kedua dan pertama ialah, jika golongan pertama bermaksud agar mendapat sanjungan dari ibadahnya kepada Allah; sedangkan golongan kedua tidak bermaksud agar dia disanjung sebagai ahli ibadah kepada Allah dan dia tidak ada kepentingan dengan sanjungan manusia karena perbuatannya.

Ketiga : Seseorang yang dalam ibadahnya bertujuan untuk taqarrub kepada Allah sekaligus untuk tujuan duniawi yang akan diperoleh. Misalnya :

•- Tatkala melakukan thaharah, disamping berniat ibadah kepada Allah, juga berniat untuk membersihkan badan.
•- Puasa dengan tujuan diet dan taqarrub kepada Allah.
•- Menunaikan ibadah haji untuk melihat tempat-tempat bersejarah, tempat-tempat pelaksaan ibadah haji dan melihat para jamaah haji.

Semua ini dapat mengurangi balasan keikhlasan. Andaikata yang lebih banyak adalah niat ibadahnya, maka akan luput baginya ganjaran yang sempurna. Tetapi hal itu tidak menyeret pada dosa, seperti firman Allah tentang jama’ah haji disebutkan dalam KitabNya:[10]

لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُوا فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ

Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki) dari Rabb-mu……[Al Baqarah : 198].

Namun, apabila yang lebih berat bukan niat untuk beribadah, maka ia tidak memperoleh ganjaran di akhirat, tetapi balasannya hanya diperoleh di dunia; bahkan dikhawatirkan akan menyeretnya pada dosa. Sebab ia menjadikan ibadah yang mestinya karena Allah sebagai tujuan yang paling tinggi, ia jadikan sebagai sarana untuk mendapatkan dunia yang rendah nilainya. Keadaan seperti itu difirmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَمِنْهُم مَّن يَلْمِزُكَ فِي الصَّدَقَاتِ فَإِنْ أُعْطُوا مِنْهَا رَضُوا وَإِن لَّمْ يُعْطَوْا مِنْهَآ إِذَا هُمْ يَسْخَطُونَ

Dan di antara mereka ada yang mencelamu tentang pembagian zakat, jika mereka diberi sebagian darinya mereka bersenang hati, dan jika mereka tidak diberi sebagian darinya, dengan serta mereka menjadi marah. [At Taubah : 58].

Dalam Sunan Abu Dawud [11], dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang bertanya: “Ya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ! Seseorang ingin berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ingin mendapatkan harta (imbalan) dunia?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Tidak ada pahala baginya,” orang itu mengulangi lagi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salalm menjawab,”Tidak ada pahala baginya.”

Di dalam Shahihain (Shahih Bukhari, no.54 dan Shahih Muslim, no.1907), dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا ، أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَىمَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Barangsiapa hijrahnya diniatkan untuk dunia yang hendak dicapainya, atau karena seorang wanita yang hendak dinikahinya, maka nilai hijrahnya sesuai dengan tujuan niat dia berhijrah.

Apabila ada dua tujuan dalam takaran yang berimbang, niat ibadah karena Allah dan tujuan lainnya beratnya sama, maka dalam masalah ini ada beberapa pendapat ulama. Pendapat yang lebih dekat dengan kebenaran ialah, bahwa orang tersebut tidak mendapatkan apa-apa.

Perbedaan golongan ini dengan golongan sebelumnya, bahwa tujuan selain ibadah pada golongan sebelumnya merupakan pokok sasarannya, kehendaknya merupakan kehendak yang berasal dari amalnya, seakan-akan yang dituntut dari pekerjaannya hanyalah urusan dunia belaka.

Apabila ditanyakan “bagaimana neraca untuk mengetahui tujuan orang yang termasuk dalam golongan ini, lebih banyak tujuan untuk ibadah atau selain ibadah?”

Jawaban kami: “Neracanya ialah, apabila ia tidak menaruh perhatian kecuali kepada ibadah saja, berhasil ia kerjakan atau tidak. Maka hal ini menunjukkan niatnya lebih besar tertuju untuk ibadah. Dan bila sebaliknya, ia tidak mendapat pahala”.

Bagaimanapun juga niat merupakan perkara hati, yang urusannya amat besar dan penting. Seseorang, bisa naik ke derajat shiddiqin dan bisa jatuh ke derajat yang paling bawah disebabkan dengan niatnya.

Ada seorang ulama Salaf berkata: “Tidak ada satu perjuangan yang paling berat atas diriku, melainkan upayaku untuk ikhlas. Kita memohon kepada Allah agar diberi keikhlasan dalam niat dan dibereskan seluruh amal” [12].

IKHLAS ADALAH SYARAT DITERIMANYA AMAL
Di dalam Al Qur`an dan Sunnah banyak disebutkan perintah untuk berlaku ikhlas, kedudukan dan keutamaan ikhlas. Ada disebutkan wajibnya ikhlas kaitannya dengan kemurnian tauhid dan meluruskan aqidah, dan ada yang kaitannya dengan kemurnian amal dari berbagai tujuan.

Yang pokok dari keutamaan ikhlas ialah, bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya amal. Sesungguhnya setiap amal harus mempunyai dua syarat yang tidak akan di terima di sisi Allah, kecuali dengan keduanya. Pertama. Niat dan ikhlas karena Allah. Kedua. Sesuai dengan Sunnah; yakni sesuai dengan KitabNya atau yang dijelaskan RasulNya dan sunnahnya. Jika salah satunya tidak terpenuhi, maka amalnya tersebut tidak bernilai shalih dan tertolak, sebagaimana hal ini ditunjukan dalam firmanNya:

وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحًا وَلاَيُشْرِكُ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا

Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabb-nya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorangpun dengan Rabb- nya. [Al Kahfi : 110].

Di dalam ayat ini, Allah memerintahkan agar menjadikan amal itu bernilai shalih, yaitu sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, kemudian Dia memerintahkan agar orang yang mengerjakan amal shalih itu mengikhlaskan niatnya karena Allah semata, tidak menghendaki selainNya.[13]

Al Hafizh Ibnu Katsir berkata di dalam kitab tafsir-nya [14]: “Inilah dua landasan amalan yang diterima, ikhlas karena Allah dan sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ”.

Dari Umamah, ia berkata: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata,”Bagaimanakah pendapatmu (tentang) seseorang yang berperang demi mencari upah dan sanjungan, apa yang diperolehnya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Dia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang itu mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salalm selalu menjawab, orang itu tidak mendapatkan apa-apa (tidak mendapatkan ganjaran), kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبَلُ مِنَ العَمَلِ إِلاَّ مَا كَانَ لَهُ خَالِصاً وَ ابْتُغِيَ بِهِ وَجْهُهُ

Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menerima amal perbuatan, kecuali yang ikhlas dan dimaksudkan (dengan amal perbuatan itu) mencari wajah Allah.

Kerja Keras Tapi Tidak Berkembang
JULY 6, 2011
(Last Updated On: July 28, 2017)
Tak Cukup Dengan Kerja Keras

Banyak orang yang terus kerja keras setiap hari, namun dia tidak berkembang. Dia bekerja di sebuah perusahaan, bisa bertahan pun sudah bagus, bahkan dia harus kerja keras hanya untuk bertahan. Namun setelah sekian tahun, jabatannya tidak juga naik. Kalau pun gaji naik, hanya naik tahunan yang besarnya hanya mengimbangi inflasi.

Ada juga, yang kerja keras berdagang atau berbisnis. Dari dulu, usahanya begitu-begitu saja. Penghasilannya tidak berjembang, usahanya tidak nambah maju. Bahkan sekedar untuk mendapatkan untung setiap hari pun harus kerja keras.

Sementara, ada orang yang belum begitu lama bekerja, jabatannya cepat naik. Kalau pun dia pindah kerja, mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya. Begitu juga, ada seorang penjual bakmi, kemudian punya dua gerobak, 3 gerobak, bahkan sampai ratusan gerobak. Dia berubah dari seorang penjual bakmi menjadi juragan bakmi.

Apa yang membedakannya? Mereka sama-sama kerja keras, tetapi memberikan hasil yang berbeda.

Ya, mungkin, bagi Anda yang pernah mendengar istilah kerja cerdas, Anda akan berteriak mengatakan bahwa kita juga harus kerja cerdas selain kerja keras. Pertanyaanya, apa itu kerja cerdas dan bagaimana caranya agar bisa kerja cerdas?

Kerja Keras + Kerja Cerdas

Saya setuju, jika Anda ingin berkembang, maka selain Anda kerja keras, Anda harus kerja cerdas juga. Tidak salah satu, harus keduanya. Kerja keras saja tidak akan menjadikan Anda berkembang, kerja cerdas saja akan menjadikan Anda kalah oleh orang lain yang memiliki keduanya. Silahkan baca artikel sebelumnya: Kerja Keras atau Kerja Cerdas

Kerja Keras Adalah…

Kerja keras adalah saat Anda bekerja mengoptimalkan semua kekuatan fisik dan waktu yang Anda miliki untuk bekerja. Jika dilihat definisi sederhana ini, saya melihat banyak orang Indonesia, saudara-saudara kita yang merupakan pekerja keras. Bahkan kegigihan mereka dalam bekerja membuat saya salut.

Artinya, meski banyak yang malas, masih ada saudara kita yang selalu banting tulang, kerja keras untuk menghidupi keluarganya bahkan kerja keras juga agar bisa menyekolahkan anaknya ke pendidikan yang lebih tinggi. Mereka bangun pagi-pagi sekali dan pulang malam bekerja keras demi keluarganya. Ini adalah gambaran, bahwa sebenarnya banyak yang memiliki potensi maju.

Namun, seperti dijelaskan diatas, bahwa kerja keras saja tidak cukup. Apalagi yang tidak mau kerja keras, parah dech.

Kerja Keras Membutuhkan Energi

Agar Anda bisa kerja keras, Anda membutuhkan energi yang memadai. Pada dasarnya, tubuh manusia akan sanggup untuk bekerja keras, dengan kerja keras luar biasa. Syaratnya ialah memiliki tubuh yang sehat. Untuk itulah agar Anda bisa terus bekerja keras, dalam rangka beribadah dan juga untuk orang-orang yang Anda sayangi, maka Anda harus menjaga kesehatan Anda. Makan yang bergizi, rajin olah raga, tidak merokok, tidak bergadang, dan istirahat yang cukup.

Tingkatkan Juga Motivasi Anda

Ternyata bukan hanya kesehatan fisik yang diperlukan, agar bisa kerja keras, kita harus memiliki kekuatan mental juga. Banyak orang yang yang badannya sehat dan kekar, tetapi malas, tidak mau bekerja keras karena motivasinya kurang. Untuk itu, kita harus terus meningkatkan dan menjaga motivasi kita. Silahkan miliki video Instant Motivation Weapon untuk meningkatkan dan menjaga motivasi Anda.

Kerja Cerdas Adalah…

Satu definisi kerja cerdas sudah saya bahas pada artikel Kerja Keras atau Kerja Cerdas, yaitu orang yang mampu memanfaatkan potensinya dengan prinsip daya ungkit. Seorang penjual bakmi, menjadikan gerobak yang dia miliki sebagai daya ungkit untuk mendapatkan gerobak yang kedua dan seterusnya.

Kerja cerdas juga adalah orang yang memiliki kecerdasan untuk memilih pekerjaan mana yang akan menghasilkan dan pekerjaan mana yang kurang menghasilkan. Menurut hukum pareto, 80% hasil didapatkan dari 20% pekerjaan. Orang yang kerja cerdas akan mampu memilih 20% pekerjaan terbaiknya. Jika Anda mampu melakukan hal ini, produktivitas Anda akan naik sampai 400% atau 4 kali lipat. Silahkan baca artikel saya sebelumnya: Produktivitas 4 Kali Lipat

Kerja cerdas juga adalah cerdas menghasilkan ide brilian yang bisa digunakan untuk mengatasi masalahnya dan menghasilkan ide brilian untuk kemajuan bisnis dan karirnya. Dia tidak terpaku dengan satu cara saja, tidak cepat menyerah karena bingung, tidak atau berhenti meski tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia terus memikirkan bagaimana menghasilkan ide brilian untuk kehidupannya.

Sampai saat ini ada 3 kualitas diri jika Anda ingin bekerja cerdas, yaitu cerdas menggunakan daya ungkit, cerdas mengelola pekerjaan, dan cerdas menghasilkan ide brilian. Masih ada kualitas lain? Tunggu saja pada artikel selanjutnya. Untuk saat ini, Anda bisa miliki ketiga kualitas ini dulu.

Kesimpulan

Kerja keras saja tidak cukup. Artikel ini menjelaskan bagaimana pentingnya pengembangan diri, tidak hanya bekerja keras. Anda harus menjadi pribadi yang lebih baik, untuk mendapatkan yang lebih baik.

Jika Anda merasa sudah kerja keras, namun tidak juga berkembang, tidak juga maju, atau Anda menghabiskan waktu untuk mengatasi masalah, maka selain kerja keras, Anda harus kerja cerdas juga.

Bekerja Keras Tidak Berarti Menghasilkan Kesuksesan
Jun 24, 2018  Artikel, Motivasi Diri  0

Salah satu nasehat kehidupan yang didengar oleh anak muda adalah, ” Jika kamu ingin sukses dan mendapatkan kedudukan di kehidupanmu, kamu harus bekerja keras.” Nasehat ini berarti untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus harus bekerja keras dan melakukan yang terbaik.

Banyak anak muda yang melakukan hal tersebut. Mereka sungguh-sungguh bekerja dan berusaha dengan keras, terkadang bekerja dengan jam yang panjang dan juga diakhir pekan. Mereka yakin bahwa keberhasilan memerlukan kerja keras, dan mereka bersedia bekerja sekeras mungkin sehingga mereka dapat meraih sukses.

Ketika terjadi sesuatu yang tidak diharapkan, banyak yang berpikir hal ini dikarenakan mereka tidak bekerja keras, jadi mereka mulai bekerja dengan lebih keras. Banyak orang diusia 40-an dan 50-an mengambil pekerjaan kedua. Tentu saja lebih banyak pekerjaan yang anda lakukan dengan dua pekerjaan daripada memiliki satu pekerjaan. Ini adalah benar-benar kerja lebih keras.

Saya teringat seseorang berkata, “Belajar bekerja lebih cerdas, bukan lebih keras.” Nasehat yang bagus.

Saya tidak menentang kerja keras. Saya menikmati kerja keras, menumpahkan semua upaya dan energi kedalam tugas yang dilakukan. Dan memang benar jika anda ingin berhasil, anda harus bekerja keras. Tapi, lihat sekeliling anda, adalah bukti bahwa orang yang bekerja keras sepanjang hidupnya tidak memiliki waktu untuk beristirahat.

Banyak orang yang telah bekerja keras sepanjang hidupnya sekarang berjuang untuk menopang dirinya. Jadi, mereka masih melakukan pekerjaan. Saya yakin, lebih dari 60 orang yang anda lihat, bekerja di restaurant, atau supermarket, bukanlah pilihan mereka untuk berada disana. Namun mereka telah bekerja keras sepanjang hidup mereka. Apa yang terjadi?

Adakah isu yang lebih dalam yang dipertimbangkan? Sudah jelas bahwa hanya dengan bekerja keras tidak akan membuat anda berhasil. Memang benar; bekerja lebih cerdas akan sangat bermanfaat. Namun, sesuatu yang sangat vital atau penting sering terlewatkan.

Gambaran yang anda bawa dalam hidup akan menentukan langkah dalam hidup anda. Jika anda tidak memiliki sasaran, keinginan atau hasrat yang jelas dan spesifik, anda akan mengalami kesulitan dikemudian hari.

Ya, kita bekerja keras agar berhasil, namun kita juga harus memilih untuk menjadi sukses. Ini adalah sebuah keputusan. Upaya yang dengan sadar dilakukan. Memerlukan disiplin mental. Merupakan mindset yang sangat penting.

Pemikirian kita perlu dievaluasi secara konsisten dan kemudian mengganti pemikiran tersebut saat diperlukan.

Diperlukan tujuan dan keinginan yang spesifik yang harus kita kejar. Semua ada ditangan kita untuk mengevaluasi dan mem-formula ulang tujuan dan keinginan tersebut ketika hidup mengalami perubahan.

Masih banyak hal yang diperlukan untuk mencapai keberhasilan daripada tiba di tempat kerja dan bekerja keras sepanjang hari!

Sebagai tambahan, kita harus ingat bahwa pikiran negatif akan menghasilkan kekalahan. Ketakutan dan kekhawatiran akan mengakibatkan kegagalan.

Melalui pikiran positif dan proses pikiran, akan memberikan kita ide-ide kesuksesan. Ketika kita memusatkan pikiran pada apa yang kita inginkan, peluang menjadi nampak jelas bagi kita. Ini adalah bagian besar dari “bekerja dengan lebih cerdas”.

Bekerja di sebuah perusahaan dan kemudian pensiun dengan uang pensiun yang memadai sudah menjadi hal yang usang. Tetap bekerja di tempat yang sama dengan jangka waktu yang lama adalah hal yang baru. Dan keamanan sosial tidak memberikan dana yang cukup bagi anda, bahkan ketika anda pensiun.

Jadi, bekerja keras untuk pekerjaan anda, namun bekerja lebih keras lagi dengan otak anda. Tetap fokus pada apa yang anda inginkan dalam hidup, pada hal-hal yang anda ingin lihat terjadi, dan kemudian bertindak untuk mencapainya.

Cari peluang yang menghampiri anda. Cari lebih banyak ide untuk keberhasilan pribadi.

Oleh: Michael A. Verdicchio

Sumber: http://www.lead

My problem or behavior .

Terlalu banyak kekurangan dan tidak memiliki kelebihan .

Overthinking . Solusi.

G pny hobi (kerja berguna), kontrak sementara (mun t neang deui, nya bereskeun hiji2)

Judul:My behavior,Isi:Overthinking tdk masuk akal kemungkinan terburuk perfeksionis putus asa, berhenti memikirkan kemungkinan terburuk, karena keadaan buruk tidak berarti ada kemungkinan terburuk, justru berubah menjadi lebih baik, karena bukan mencari baik atau buruk, dan maknanya harus d perhatikan. Tp dilihat dr proses, ikhtiar, doa. Husnudzon kpd allah

Uang kegiatan perkataan perbuatan

Allah menciptakan manusia yang sempurna yang tidak sama dengan yang lain (berbeda) .

Rendah dan tidak berharga yang di maksud makna dan keberadaanya perlu di perhatikan kembali maksudnya .

Asumsi

Jika Malu Menghambat Kesuksesan, Bagaimana Cara Menghilangkan Rasa Malu?

18 May 2015 / Artikel / By Rina Ulwia / 1 COMMENT
0 Shares
Pepatah lama mengatakan, “Malu bertanya sesat di jalan.”

Yup! Pepatah itu memberikan gambaran jelas kepada kita dampak rasa malu pada diri kita sendiri.

Malu merupakan salah satu perasaan yang menghambat kesuksesan. Bagaimana tidak? Malu menghambat gerak kita. Malu menghambat langkah kita ke depan.

Kok bisa?

Bayangkan Anda sedang berada di luar kota. Ceritanya, Anda sedang mencari sebuah alamat. Anda mencari ke sana-ke mari, tapi tak menemukan alamat itu juga. Karena malu, Anda pun menahan diri untuk bertanya kepada orang. Walhasil, Anda pun tersesat!

Bayangkan pula Anda tertarik pada seorang gadis. Anda ingin sekali berkenalan dengannya dan menjadi kekasih hatinya. Tetapi, karena malu, Anda pun mengurungkan niat untuk berkenalan. Ujungnya, Anda hanya gigit jari ketika orang lain berhasil merebut hati gadis itu.

Sekarang, bayangkan Anda akan mempresentasikan sebuah konsep kepada klien. Tetapi, Anda tidak percaya diri dengan konsep tersebut. Anda malu. Dan, karena rasa malu itu, Anda  mengurungkan niat untuk bertemu klien. Hasilnya, kesempatan mendapat pelanggan hilang hanya karena rasa malu.

Contoh lainnya? Anda dapat menambahkan contoh dampak negatif rasa malu bagi diri Anda sendiri sebanyak-banyaknya.

Nah, sebagaimana ilustrasi-ilustrasi di atas, Anda tahu bahwa rasa malu membawa dampak negatif bagi diri Anda. Rasa malu menghambat perkembangan diri Anda. Ia juga menghambat kesuksesan Anda. Oleh karena itu, Anda harus melenyapkannya.

Bagaimana cara menghilangkan rasa malu?

Untuk mengetahuinya, yuk, kita simak penjelasan berikut ini.

Dari Mana Rasa Malu Berasal?

Sebagaimana sifat lainnya, malu tidak datang dari sononya. Anda memiliki rasa malu karena ANDA MERASA ADA YANG SALAH DENGAN DIRI ANDA.

Nah, bisa jadi, perasaan itu muncul ketika Anda masih kecil. Ketika masih kecil, mungkin ada perlakuan orangtua, teman, guru, saudara, atau tetangga yang membuat Anda merasa tidak tidak berharga; Ada perlakuan orang lain yang membuat Anda merasa ada yang salah dengan diri Anda.

Perlakuan yang bagaimana yang membuat Anda merasa ada yang salah dengan diri Anda? Contoh:

Waktu kecil, orangtua ingin agar Anda mendapat juara satu. Tetapi, Anda tidak pernah bisa memenuhi keinginan itu. Akibatnya, orangtua kecewa terhadap Anda, dan selalu membandingkan prestasi Anda dengan prestasi kakak Anda. Ceritanya, kakak Anda selaaaaalu mendapat juara satu. Orangtua selalu berkata, “Kecerdasan kakak kamu itu menurun dari Mama sama Papa. Nah, kalau kamu, nurun siapa, ya, kok ga cerdas?”

Hal itu bisa membuat Anda merasa bersalah; membuat Anda merasa ada yang salah dengan diri Anda. HAL ITU MEMBUAT ANDA MERASA ANDA ADALAH SEBUAH AIB, SEBUAH KESALAHAN.

Lebih jauh, perasaan itu merasuk ke alam bawah sadar Anda, menetap di sana hingga Anda dewasa. Akhirnya, saat Anda sudah dewasa, perasaan itu membuat Anda sensitif dan mudah malu.

Anda mudah diliputi rasa malu lantaran takut orang lain mengetahui ‘kesalahan’ Anda. Anda mudah diliputi rasa malu lantaran takut orang lain mengetahui bahwa Anda adalah sebuah ‘aib’.

Rasa malu itu merupakan bentuk pertahanan diri. Penjelasannya: Saat Anda malu, Anda menarik diri dari pergaulan. Atau, Anda menjaga jarak dengan orang lain. Nah, tindakan menarik diri itu merupakan bentuk pertahanan diri, supaya orang lain tidak memblejeti ‘aib’ dan ‘kesalahan’ Anda.

Sekarang, pertanyaannya, mengapa ‘tidak menjadi juara satu’ membuat Anda merasa bersalah? Bukankah itu hal yang lumrah dan tidak salah?

Sejatinya, TIDAK ADA YANG SALAH dengan tidak menjadi juara satu. Tetapi, ‘TIDAK MENJADI JUARA SATU’ menjadi MASALAH bagi keluarga yang mengidamkan prestasi akademis. Itulah yang membuat Anda merasa bersalah, merasa menjadi aib ketika Anda tidak menjadi juara satu.

Menurut Margareth Paul Ph.D., rasa bersalah muncul lantaran Anda merasa BERTANGGUNG JAWAB atas perasaan orang lain.

Dalam contoh di atas, rasa bersalah itu muncul lantaran Anda merasa bertanggung jawab atas kekecewaan orangtua Anda.

Bagaimana dengan rasa malu pada penampilan?

Anda merasa malu dengan penampilan Anda karena Anda merasa ada yang salah dengan penampilan Anda.

Tetapi, mengapa Anda merasa ada yang salah dengan penampilan Anda? Karena, Anda pernah mengalami kejadian di mana lingkungan menilai buruk penampilan Anda. Lingkungan berharap Anda memiliki penampilan lainnya.

Rasa malu muncul lantaran Anda takut orang lain (sekali lagi) menilai buruk penampilan Anda. Anda takut orang lain terganggu dengan penampilan Anda, dan Anda merasa bertanggung jawab terhadap perasaan terganggu tersebut.

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kronologi munculnya rasa malu adalah

1. Lingkungan menetapkan ekspektasi/harapan tertentu kepada Anda.

2. Anda harus memenuhi harapan itu. Jika tidak, lingkungan menilai Anda tidak berharga.

3. Suatu saat, Anda memang tidak bisa memenuhi harapan itu, dan lingkungan kecewa terhadap Anda.

4. Hal itu membuat Anda merasa bersalah; Hal itu membuat Anda merasa sebagai aib.

5. Perasaan itu melekat di alam bawah sadar Anda.

6. Akibatnya, Anda mudah sensitif dan mudah dilingkupi rasa malu.

7. Rasa malu itu merupakan bentuk pertahanan diri; Dengan malu, Anda menarik diri dari pergaulan atau menjaga jarak dengan orang lain. Tujuannya, supaya ‘aib’ dan ‘kesalahan’ Anda tidak diketahui orang lain.

8. Anda malu dan menarik diri karena Anda takut kalau-kalau orang lain mengetahui ‘aib’ dan ‘kesalahan’ Anda.

9. Anda malu karena Anda merasa bertanggung jawab apabila mereka kecewa terhadap Anda begitu mengetahui ‘aib’ dan ‘kesalahan’ Anda.

10. Tetu saja, rasa bersalah itu tidak masuk akal. Mengapa? Karena, sejatinya, Anda tidak bersalah. Anda merasa bersalah karena dulu, lingkungan menganggapnya salah.

Rasa Malu dan Rasa Bersalah/Guilt
Dari penjelasan di atas, Anda paham bahwa rasa malu muncul ketika Anda merasa ada yang salah dengan diri Anda, meskipun sebenarnya Anda tidak bersalah sama sekali.

Nah, seringkali, kita mencampuradukkan rasa malu dengan rasa bersalah/guilt.

Sebanarnya, rasa malu berbeda dari rasa bersalah/guilt.

Saat Anda merasa malu, Anda menyesali diri Anda yang tidak sesuai dengan ekspektasi/harapan orang lain. Contoh, orang lain ingin Anda menjadi sosok yang sempura dalam bekerja. Karena ekspektasi itu, ketika gagal, Anda pun merasa malu. Perasaan malu itu berasal dari rasa bersalah Anda. Sebenarnya, menurut standar moral, Anda tidaklah bersalah hanya karena mengalami kegagalan. Tetapi, demi memenuhi ekspektasi orang lain, Anda pun merasa bersalah.

Contoh lain, penampilan fisik yang ‘buruk’ menurut lingkungan Anda membuat Anda malu. Sebenarnya, menurut standar moralitas, penampilan Anda itu tidaklah salah sama sekali. Tetapi, karena demi memenuhi ekspektasi lingkungan, Anda pun merasa bersalah/malu dengan penampilan Anda, yang tidak sesuai dengan standar mereka.

Berbeda dari rasa malu, saat Anda merasa bersalah, Anda menyesali perbuatan Anda yang salah menurut standar moralitas Anda.

Jadi, rasa malu tidak terkait dengan nilai moral. Sementara itu, rasa bersalah/feel gulity terkait dengan moralitas.

Untuk lebih jelasnya, coba tentukan apakah hal ini merupakan rasa malu atau rasa bersalah.

Si A merupakan korban pelecehan seksual. Karena itu, ia merasa bersalah. Ia merasa menjadi aib. Dan, karena itu, ia menarik diri dari pergaulan.

Nah, dalam contoh di atas, apa yang dirasakan si A? Apakah ia malu atau merasa bersalah/feel guilty?

Karena dia menjadi korban pelecehan, maka dia tidak bersalah. Ia tidak melanggar nilai moral. Jadi, apa yang ia rasakan adalah malu.

Sekarang, coba simak contoh berikutnya dan tentukan apakah ini merupakan rasa malu atau rasa bersalah/feel guilty.

Si B menghina kakek berpakaian compang-camping yang duduk di meja dosen. Ia mengira kakek itu gelandangan. Tetapi, ternyata, kakek itu adalah dosen barunya. Ketika ia tahu si kakek adalah dosennya, ia pun menundukkan kepala karena merasa bersalah.

Dalam contoh di atas, apa yang dirasakan si B? Apakah ia malu atau merasa bersalah/feel guilty?

Karena dia melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan standar moral yang dianutnya, ia pun merasa bersalah/feel guilty.

Naaaaah, Anda harus bisa membedakan antara rasa malu dan rasa bersalah. Rasa malu harus dilenyapkan. Mengapa? Karena, ia datang dari ketidakrasionalan. Anda malu lantaran Anda merasa ada yang salah dengan diri Anda, meskipun sebenarnya Anda tidak bersalah sama sekali. Rasa bersalah itu tidak rasional.

Sebaliknya, ketika Anda melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan standar moral yang Anda ikuti, maka Anda perlu merasa bersalah. Mengapa? Karena, kesalahan itu nyata. Anda memang berbuat salah dan karenanya perlu merasa bersalah/menyesal supaya tidak melakukan kesalahan itu lagi. Selain itu, Anda perlu merasa bersalah supaya Anda sadar bahwa Anda harus mempertanggungjawabkan perbuatan Anda.

Sekarang, setelah mengetahui asal usul rasa malu, bagaimana cara menghilangkan rasa malu yang menyerang diri Anda?

Cara Menghilangkan Rasa Malu

Sebagaimana dijelaskan di atas, rasa malu berasal dari rasa bersalah yang tidak rasional. Anda merasa malu lantaran Anda merasa ada yang salah dengan diri Anda, meskipun sebenarnya Anda tidak bersalah sama sekali.

Nah, karena rasa bersalah itu tidak rasional, maka yang perlu Anda lakukan hanyalah TIDAK MEMPERCAYAI perasaan itu.

Contoh, lingkungan menuntut Anda untuk sempurna dalam bekerja. Mereka berharap Anda tidak pernah gagal dalam pekerjaan.

Suatu saat, Anda mengalami kegagalan dan hal itu membuat mereka kecewa.

Karena kekecewaan itu, Anda pun lantas merasa bersalah dan malu.

Sebenarnya, Anda tidak perlu merasa malu dan bersalah. Mengapa? Karena, Anda tidak bersalah sama sekali. Menurut standar moralitas, mengalami kegagalan bukanlah kesalahan. Anda boleh gagal. Mengalami kegagalan tidak membuat Anda menjadi seorang kriminal.

Oleh karena itu, cara menghilangkan rasa malu tersebut yaitu dengan tidak mempercayai rasa bersalah Anda. Yakinkan diri Anda bahwa Anda tidak bersalah. Yakinkan diri Anda bahwa Anda berhak untuk sesekali mengalami kegagalan. Yakinkan diri Anda bahwa Anda tidak perlu bertanggung jawab atas rasa kecewa orang lain terhadap kegagalan Anda.

Pikiran-Pikiran Yang Menyimpang Yang Membuat Anda Stres

22 October 2014 / Artikel / By Rina Ulwia
5 Shares
Bayangkan suatu malam Anda berada di rumah sendirian. Malam itu, kebetulan listrik di pemukiman tempat tinggal Anda padam. Saat hendak tidur, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di luar. Jika didengarkan secara saksama, langkah kaki itu seperti menuju pintu rumah Anda. Dan, karena hal itu, Anda berpikir bahwa seorang pencuri sedang menyasar rumah Anda.

Nah, kira-kira, bagaimana perasaan Anda ketika berpikir bahwa langkah kaki itu langkah laki seorang pencuri? Anda ngeri? Takut? Deg-degan?

Sekarang, bagaimana jika Anda berpikir bahwa suara langkah kaki itu merupakan langkah kaki suami Anda? Bagaimana kira-kira perasaan Anda? Penulis berani bertaruh, Anda akan merasa nyaman, tenang, gembira, dan berharap.

Nah, sebagaimana dua ilsutrasi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pikiran bisa memengaruhi perasaan kita. Jika kita berpikir positif, maka perasaan/suasana hati kita pun senang, tenang, dan nyaman. Sebaliknya, jika kita berpikir negatif, maka perasaan/suasana hati kita pun berubah menjadi sedih, takut, khawatir, cemas, atau stres.

Kesimpulan di atas sama halnya dengan apa yang telah dijelaskan oleh Christine A. Padesky dan Dennis Greenberger dalam buku yang berjudul Manajemen Pikiran: Metode Ampuh Menata Pikiran untuk Mengatasi Depresi, Kemarahan, Kecemasan, dan Perasaan Merusak Lainnya. Dalam buku tersebut, Padesky dan Greenberger menjelaskan adanya hubungan yang saling memengaruhi antara pikiran, perasaan (suasana hati), perilaku, dan kondisi lingkungan.

Pikiran senantiasa memengaruhi perilaku dan suasana hati. Sebaliknya, suasana hati turut memengaruhi pikiran dan perilaku kita. Lebih jauh, kondisi lingkungan/kenyataan juga berperan dalam membentuk pikiran, perasaan, dan perilaku kita.

Nah, keterkaitan antara pikiran, perasaan, perilaku, dan kondisi lingkungan ini pada ujungnya turut memengaruhi kebahagiaan dan tingkat stres yang kita alami. Pikiran yang negatif membuat orang sedih, kecewa, marah, stres, cemas, takut, dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Sebaliknya, pikiran positif membuat orang senang, gembira, bahagia, nyaman, tenang, aman, dan perasaan-perasaan positif lainnya.

Tiga macam pikiran positif
Namun demikian, bukan berarti agar bahagia kita harus selalu berpikir positif. Tentu, tidak semudah itu merubah suasana hati kita sesuai dengan yang kita mau. Nah, di sinilah peran/pengaruh kondisi lingkungan (dan kondisi yang kita alami) terhadap pikiran dan suasana hati dapat kita saksikan. Saat kita tertimpa musibah, maka seberapa keras kita mencoba untuk berpikir positif, tetap saja pikiran positif itu tidak mampu membuat kita bahagia. Mengapa? Karena, otak kita tidak mempercayai pikiran positif tersebut karena pikiran positif itu tidak sesuai dengan kenyataan/kondisi yang kita hadapi.

Jadi, ada kalanya, pikiran yang positif dapat membantu kita merasa lebih baik. Ini terutama saat pikiran tersebut sesuai dengan kenyataan/kondisi yang kita hadapi, atau saat kita belum mengetahui kenyataan/kondisi yang sebenarnya. Sebaliknya, saat pikiran positif tidak sesuai kenyataan, maka pikiran itu tidak akan banyak membantu merubah suasana hati kita.

Pada ilsutrasi di atas, jika Anda dapati bahwa yang datang ke rumah Anda adalah seorang pencuri, maka sepositif apa pun pikiran Anda, Anda pun pada ujungnya harus mengakui bahwa langkah kaki itu adalah langkah kaki pencuri. Anda tidak bisa berpura-pura berpikir bahwa yang datang adalah suami Anda.

Saat sang pencuri sudah di depan mata Anda, tentu tidak ada gunanya berpikir positif seperti ini: “Ah, tenang saja. Positif thinking. Yang datang pasti suami tercinta.”

Tetapi, saat Anda belum tahu secara pasti apakah suara langkah kaki itu suara langkah kaki suami Anda atau bukan, maka pikiran yang positif masih berguna bagi Anda. Pikiran itu dapat membuat Anda tetap tenang.

Tiga macam pikiran negatif
Sekarang, bagaimana dengan pikiran yang negatif? Sebagaimana pikiran yang positif, pikiran yang negatif pun dapat terbagi menjadi tiga: Pikiran negatif yang sesuai dengan kenyataan; Pikiran negatif yang tidak sesuai dengan kenyataan; Pikiran negatif yang belum diketahui kebenarannya (belum diketahui apakah sesuai kenyataan atau tidak).

Nah, dari tiga jenis pikiran negatif itu, ada dua pikiran negatif yang dapat membuat kita sedih, marah, kecewa, stres, depresi, dan berbagai perasaan negatif lainnya. Pikiran negatif yang bagaimanakah itu? Pikiran negatif yang sesuai dengan kenyataan dan pikiran negatif yang belum diketahui kebenarannya (belum diketahui apakah sesuai kenyataan atau tidak). Sementara itu, pikiran negatif yang tidak sesuai dengan kenyataan tidak banyak memengaruhi perasaan kita.

Dalam ilustrasi di atas, jika Anda dapati ternyata yang datang suami Anda, maka kenyataan itu niscaya menepis pikiran negatif Anda. (Andaikanlah, Anda berpikir bahwa yang datang adalah seorang pencuri. Maka, niscaya Anda akan merasa cemas. Tetapi, saat mendapati ternyata yang datang suami Anda, maka kecemasan itu pun sirna).

Dalam artikel ini, penulis akan berfokus pada pikiran negatif yang belum diketahui kebenarannya (apakah sesuai kenyataan atau tidak). untuk memudahkan dalam menyebutnya, mari kita sebut pikiran negatif yang belum diketahui kebenarannya dengan pikiran yang menyimpang/distorted thinking.

Mengapa penulis berfokus pada distorted thinking? Karena, seringkali, kita stres, kecewa, depresi, dan cemas bukan lantaran kita mengalami kondisi yang penuh tekanan dan ketegangan, melainkan lantaran pikiran-pikiran yang menyimpang/distorted thinking.

Sebagai contoh, kita tersinggung bukan lantaran orang lain menyindir kita, melainkan lantaran kita BERPIKIR/MENGIRA orang lain telah menyindir kita. Padahal, kita tidak tahu pasti apakah orang itu memang menyindir kita atau tidak.

Nah, berikut ini beberapa pikiran yang menyimpang yang dapat membuat Anda stres.

1. Tergesa-gesa menyimpulkan
Salah satu cara berpikir yang membuat Anda stres yaitu tergesa-gesa menyimpulkan. Sebagai contoh, Anda sedang menghadiri pesta pernikahan. Di pesta itu, Anda berjumpa dengan teman lama Anda. Karena sudah lama tidak bertemu, Anda pun cepat-cepat menghampiri dan menyapanya.

Mendapati Anda menyapanya, dia pun menjawab sapaan Anda. Tetapi, berbeda dengan Anda yang menyapanya dengan sumringah, ia menjawab sapaan Anda dengan raut muka yang cemberut.

Nah, melihat reaksinya, Anda pun berpikir bahwa dia tidak senang berjumpa dengan Anda. Dan, karena pikiran itu, Anda kecewa dan stres. Anda stres lantaran malu telah menyangka dia bakal menyambut Anda dengan gembira.

Di sini, penyebab Anda kecewa dan stres yaitu Anda tergesa-gesa dalam menyimpulkan reaksinya. Anda tergesa-gesa menyimpulkan bahwa ia cemberut lantaran tidak senang berjumpa dengan Anda. Padahal, belum tentu ia cemberut lantaran kehadiran Anda. Bisa jadi, ia cemberut lantaran hal lain yang tidak berkaitan dengan Anda.

Untuk itu, untuk melenyapkan perasaan negatif Anda, tanyakan langsung kepadanya apa yang membuatnya cemberut. Pastikan apa yang terjadi sebenarnya, jangan hanya mengira-ngira.

2. Mengkatastropikan masalah
Pikiran yang menyimpang dapat juga berupa katastropi. Mengkatastropikan suatu masalah sama artinya dengan membesar-besarkan/mendramatisasi masalah tersebut.

Sebagai contoh, Anda sedang mengikuti psikotest seleksi karyawaan di sebuah perusahaan. Dalam test itu, ada beberapa soal yang sulit dijawab, menurut Anda. karena hal itu, Anda pun berpikir bahwa Anda tidak akan lulus dalam test tersebut dan tidak akan diterima sebagai karyawan.

Nah, dalam contoh tersebut, apa yang membuat Anda berpikir Anda tidak bakal lulus yaitu Anda mengkatastropikan masalah yang sedang Anda hadapi, Anda mengkatastropikan soal-soal yang sulit dijawab. Dan, karena pikiran yang katastropik itu, Anda pun menjadi stres.

Untuk melenyapkan stres lantaran Anda mengkatastropikan masalah Anda, berkatalah kepada diri Anda sendiri seperti berikut: “Tenang, hanya beberapa soal, kok, yang tidak bisa dijawab. Ga semuanya. Lagipula, pertimbangan diterima atau tidak bukan hanya dari psikotest ini, tetapi juga dari wawancara nanti. Jadi, masih ada kesempatan untuk diterima.”

3. Bias konfirmasi
Bentuk penyimpangan pikiran selanjutnya yakni bias konfirmasi. Bias konfirmasi adalah cara berpikir di mana kita hanya mencari bukti yang membenarkan/mengkonfirmasi dugaan kita, dan tidak mengindahkan bukti yang menyangkal dugaan tersebut.

Sebagai contoh, sudah lebih dari 10 tahun Anda bekerja di perusahaan A. Namun demikian, Anda tidak kunjung diangkat menjadi supervisor di perusahaan itu. Sebaliknya, si B, yang baru 3 tahun bekerja di perusahaan itu sudah diangkat menjadi supervisor.

Nah, karena hal itu, Anda pun berpikir/menduga bahwa sang manajer tidak suka (secara personal) terhadap Anda. Dan, untuk mendukung pikiran/dugaan itu, Anda pun mencari-cari bukti yang mengkonfirmasi/membenarkannya, sembari mengesampingkan bukti-bukti yang menyangkalnya.

Dalam contoh di atas, bias konfirmasi membuat Anda stres. Mengapa? Bias konfirmasi membuat Anda yakin bahwa sang manajer memang tidak menyukai Anda.

Nah, agar tidak terjerumus dalam bias konfirmasi, bersikaplah seimbang. Carilah bukti yang mendukung dan bukti yang menyangkal pikiran Anda. Dengan demikian, pikiran Anda tidak bias/subjektif.

Lebih jauh, untuk menghindari bias konfirmasi, Daniel Kahneman, dalam bukunya yang berjudul Thinking, Fast and Slow, menyarankan agar kita selalu meragukan pikiran/persepsi/penilaian/dugaan kita terhadap suatu gejala.

Misal, dalam contoh di atas, Anda menduga bahwa sang manajer membenci Anda. Nah, agar tidak terjerumus dalam bias konfirmasi, maka Anda harus meragukan kebenaran dugaan Anda itu.

Saat Anda ragu terhadap dugaan Anda, tentu Anda terdorong untuk mencari-cari bukti yang menyangkal dugaan itu. Benar, bukan?

Nah, pada gilirannya, bukti-bukti yang menyangkal dugaan Anda tersebut dapat mengurangi stres Anda. Mengapa? Dugaan bahwa sang manajer membenci Anda runtuh oleh bukti-bukti yang menyangkal dugaan itu. Dengan runtuhnya dugaan Anda, maka Anda pun berhenti berpikir bahwa sang manajer membenci Anda. Ini tentu melegakan Anda, bukan?

4. Labelisasi
Bentuk penyimpangan pikiran selanjutnya yakni labelisasi. Labelisasi adalah cara berpikir di mana kita menyematkan label/identitas tertentu pada diri kita, padahal belum tentu label atau identitas itu menggambarkan diri kita yang sesungguhnya.

Sebagai contoh, Anda melabeli diri Anda sendiri dengan label “pemalas”. Dengan label itu, Anda selalu merasa serba salah saat Anda berhalangan masuk kerja, entah karena sakit atau ada urusan lainnya.

Nah, untuk menghindari labelisasi, yakinkan diri Anda bahwa identitas seseorang senantiasa berubah; Tidak ada identitas yang tetap. Tidak ada pribadi yang secara alami pemalas. Anda tidak bekerja bukan lantaran Anda seorang pemalas, melainkan lantaran ada masalah lain seperti Anda sedang bosan, sedang tidak enak badan, takut gagal, dan sebab lainnya.

5. Mendiskualifikasi informasi positif
Suatu hari Anda menerima SMS dari teman lama Anda. Dalam SMS itu, ia menanyakan kabar Anda. Selain itu, ia juga berkata bahwa ia sangat rindu kepada Anda dan teman-teman lainnya.

Menanggapi SMS itu, Anda bukannya senang, tetapi justru marah. Mengapa Anda marah? Anda berpikir ia menghubungi Anda lantaran ada maunya.

Nah, dalam ilustrasi di atas, Anda mendiskualifikasi informasi positif. Informasi positif apa yang Anda diskualifikasi? Informasi bahwa sang teman sangat rindu kepada Anda dan teman-teman lainnya. Bukan hanya itu, Anda juga merubah informasi positif itu menjadi informasi yang negatif, yakni bahwa ia menghubungi Anda lantaran ada maunya.

Di sini, informasi negatif itulah yang membuat Anda marah, stres, dan kecewa. Padahal, informasi itu belum tentu benar.

Cara berpikir seperti di atas (diskualifikasi informasi positif) merupakan cara berpikir yang menyimpang dari kenyataan. Anda tahu benar (berdasarkan informasi yang Anda dapatkan dari SMS itu) bahwa sang teman merindukan Anda. Tetapi, Anda menyangkal informasi itu dan menggantinya dengan informasi negatif.

Demikian beberapa pikiran yang menyimpang yang dapat membuat Anda stres.

Money and work

Jangan Sampai Kamu Bekerja Terlalu Keras Hingga Lupa Menikmati Hidup
Setiap orang, baik wanita maupun pria, perlu mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Adalah sebuah fakta bahwa uang diperlukan untuk bertahan hidup.

Namun, ada satu hal yang patut menjadi perhatian, haruskah pekerjaan mendapatkan porsi lebih besar dalam kehidupan dibandingkan kebahagiaan diri sendiri dan orang-orang tercinta?Apakah peranan uang sebegitu pentingnya sebagai penentu kebahagiaan?

Hidup terlalu singkat jika digunakan hanya untuk bekerja terlalu keras

Hidup ini singkat, dan sayangnya masing-masing orang hanya diberikan satu kesempatan untuk menjalani hidupnya. Pertanyaannya adalah, apakah kamu mau menghabiskan hidup hanya untuk bekerja terus-menerus hari demi hari?

Pertanyaan berikutnya adalah, setelah kamu bekerja sangat keras setiap harinya dan kamu akhirnya berhasil mengumpulkan banyak sekali uang, kamu sudah menjadi tua, hidup berlalu begitu saja, lalu apa?

Saat orang lain menikmati hidup dan membuat banyak kenangan indah, yang kamu lakukan hanyalah membuat banyak sekali uang tapi hidupmu tak berarti. Benarkah kamu ingin hidup yang seperti itu?

Apa gunanya punya uang banyak jika hidupmu hampa?

Kekayaanmu melimpah, namun kekayaan tersebut tak akan kamu bawa saat meninggalkan dunia ini. Sementara sepanjang hidupmu kamu tak menikmati hidup. Yang kamu kerjakan setiap saat hanyalah bekerja dan bekerja.

Uang memang diperlukan dalam hidup ini, namun uang bukan segalanya. Uang memang dapat memberimu kebahagiaan, tapi bukan kebahagiaan sejati. Apa gunanya memiliki banyak uang jika hidupmu hampa?

Baca juga: 7 Cara Memaafkan Diri Sendiri dan Tak Lagi Hidup Pada Masa Lalu

Bekerja sangat keras mungkin membuatmu kaya, tapi hanya secara materi

Ada yang pernah berkata, hal-hal terbaik dalam hidup ini bukan berbentuk materi. Materi bukanlah hal terpenting dan terbaik dalam hidup ini. Memiliki uang berlimpah sebaiknya tidak menjadi tujuan utama yang ingin kamu capai dalam kehidupan.

Ada banyak faktor lainnya yang berkontribusi terhadap tercapainya kehidupan yang menyenangkan, seperti kesehatan, kedamaian batin, dan tentunya keluarga dan teman-teman yang selalu ada untukmu dalam suka maupun duka.

Hubungan dengan sesama manusia yang harus kamu jaga, bukan uang

Harta sesungguhnya yang akan memberimu kebahagiaan sejati adalah waktu-waktu indah yang kamu habiskan dengan orang-orang tercinta, bisa anggota keluarga, pasangan maupun anak.

Oleh karena itu, hubungan dengan sesama manusia lah yang harus kamu jaga. Bila kamu menghabiskan terlalu sedikit waktu untuk mereka karena kamu selalu menjadikan pekerjaan sebagai prioritas, hubungan yang tadinya erat secara perlahan tapi pasti akan retak. Kasih sayang dan cinta yang tadinya ada akan sirna seiring waktu.

Jarak pun akan tercipta antara dirimu dan orang-orang yang kamu sayangi tersebut, dan jarak itu akan bertambah besar jika kamu masih terus mendahulukan pekerjaan. Kamu menghasilkan banyak uang, namun dengan siapakah kamu akan berbagi jika sudah tak ada orang yang mau bersama denganmu?

Jangan sampai ada penyesalan pada kemudian hari, karena pada saatnya tiba, bisa saja segalanya sudah terlambat.

Uang ada untuk membuatmu bahagia dan menghilangkan rasa lelahmu . (No)