Selasa, 02 Oktober 2018

My problem or behavior .

Terlalu banyak kekurangan dan tidak memiliki kelebihan .

Overthinking . Solusi.

G pny hobi (kerja berguna), kontrak sementara (mun t neang deui, nya bereskeun hiji2)

Judul:My behavior,Isi:Overthinking tdk masuk akal kemungkinan terburuk perfeksionis putus asa, berhenti memikirkan kemungkinan terburuk, karena keadaan buruk tidak berarti ada kemungkinan terburuk, justru berubah menjadi lebih baik, karena bukan mencari baik atau buruk, dan maknanya harus d perhatikan. Tp dilihat dr proses, ikhtiar, doa. Husnudzon kpd allah

Uang kegiatan perkataan perbuatan

Allah menciptakan manusia yang sempurna yang tidak sama dengan yang lain (berbeda) .

Rendah dan tidak berharga yang di maksud makna dan keberadaanya perlu di perhatikan kembali maksudnya .

Asumsi

Jika Malu Menghambat Kesuksesan, Bagaimana Cara Menghilangkan Rasa Malu?

18 May 2015 / Artikel / By Rina Ulwia / 1 COMMENT
0 Shares
Pepatah lama mengatakan, “Malu bertanya sesat di jalan.”

Yup! Pepatah itu memberikan gambaran jelas kepada kita dampak rasa malu pada diri kita sendiri.

Malu merupakan salah satu perasaan yang menghambat kesuksesan. Bagaimana tidak? Malu menghambat gerak kita. Malu menghambat langkah kita ke depan.

Kok bisa?

Bayangkan Anda sedang berada di luar kota. Ceritanya, Anda sedang mencari sebuah alamat. Anda mencari ke sana-ke mari, tapi tak menemukan alamat itu juga. Karena malu, Anda pun menahan diri untuk bertanya kepada orang. Walhasil, Anda pun tersesat!

Bayangkan pula Anda tertarik pada seorang gadis. Anda ingin sekali berkenalan dengannya dan menjadi kekasih hatinya. Tetapi, karena malu, Anda pun mengurungkan niat untuk berkenalan. Ujungnya, Anda hanya gigit jari ketika orang lain berhasil merebut hati gadis itu.

Sekarang, bayangkan Anda akan mempresentasikan sebuah konsep kepada klien. Tetapi, Anda tidak percaya diri dengan konsep tersebut. Anda malu. Dan, karena rasa malu itu, Anda  mengurungkan niat untuk bertemu klien. Hasilnya, kesempatan mendapat pelanggan hilang hanya karena rasa malu.

Contoh lainnya? Anda dapat menambahkan contoh dampak negatif rasa malu bagi diri Anda sendiri sebanyak-banyaknya.

Nah, sebagaimana ilustrasi-ilustrasi di atas, Anda tahu bahwa rasa malu membawa dampak negatif bagi diri Anda. Rasa malu menghambat perkembangan diri Anda. Ia juga menghambat kesuksesan Anda. Oleh karena itu, Anda harus melenyapkannya.

Bagaimana cara menghilangkan rasa malu?

Untuk mengetahuinya, yuk, kita simak penjelasan berikut ini.

Dari Mana Rasa Malu Berasal?

Sebagaimana sifat lainnya, malu tidak datang dari sononya. Anda memiliki rasa malu karena ANDA MERASA ADA YANG SALAH DENGAN DIRI ANDA.

Nah, bisa jadi, perasaan itu muncul ketika Anda masih kecil. Ketika masih kecil, mungkin ada perlakuan orangtua, teman, guru, saudara, atau tetangga yang membuat Anda merasa tidak tidak berharga; Ada perlakuan orang lain yang membuat Anda merasa ada yang salah dengan diri Anda.

Perlakuan yang bagaimana yang membuat Anda merasa ada yang salah dengan diri Anda? Contoh:

Waktu kecil, orangtua ingin agar Anda mendapat juara satu. Tetapi, Anda tidak pernah bisa memenuhi keinginan itu. Akibatnya, orangtua kecewa terhadap Anda, dan selalu membandingkan prestasi Anda dengan prestasi kakak Anda. Ceritanya, kakak Anda selaaaaalu mendapat juara satu. Orangtua selalu berkata, “Kecerdasan kakak kamu itu menurun dari Mama sama Papa. Nah, kalau kamu, nurun siapa, ya, kok ga cerdas?”

Hal itu bisa membuat Anda merasa bersalah; membuat Anda merasa ada yang salah dengan diri Anda. HAL ITU MEMBUAT ANDA MERASA ANDA ADALAH SEBUAH AIB, SEBUAH KESALAHAN.

Lebih jauh, perasaan itu merasuk ke alam bawah sadar Anda, menetap di sana hingga Anda dewasa. Akhirnya, saat Anda sudah dewasa, perasaan itu membuat Anda sensitif dan mudah malu.

Anda mudah diliputi rasa malu lantaran takut orang lain mengetahui ‘kesalahan’ Anda. Anda mudah diliputi rasa malu lantaran takut orang lain mengetahui bahwa Anda adalah sebuah ‘aib’.

Rasa malu itu merupakan bentuk pertahanan diri. Penjelasannya: Saat Anda malu, Anda menarik diri dari pergaulan. Atau, Anda menjaga jarak dengan orang lain. Nah, tindakan menarik diri itu merupakan bentuk pertahanan diri, supaya orang lain tidak memblejeti ‘aib’ dan ‘kesalahan’ Anda.

Sekarang, pertanyaannya, mengapa ‘tidak menjadi juara satu’ membuat Anda merasa bersalah? Bukankah itu hal yang lumrah dan tidak salah?

Sejatinya, TIDAK ADA YANG SALAH dengan tidak menjadi juara satu. Tetapi, ‘TIDAK MENJADI JUARA SATU’ menjadi MASALAH bagi keluarga yang mengidamkan prestasi akademis. Itulah yang membuat Anda merasa bersalah, merasa menjadi aib ketika Anda tidak menjadi juara satu.

Menurut Margareth Paul Ph.D., rasa bersalah muncul lantaran Anda merasa BERTANGGUNG JAWAB atas perasaan orang lain.

Dalam contoh di atas, rasa bersalah itu muncul lantaran Anda merasa bertanggung jawab atas kekecewaan orangtua Anda.

Bagaimana dengan rasa malu pada penampilan?

Anda merasa malu dengan penampilan Anda karena Anda merasa ada yang salah dengan penampilan Anda.

Tetapi, mengapa Anda merasa ada yang salah dengan penampilan Anda? Karena, Anda pernah mengalami kejadian di mana lingkungan menilai buruk penampilan Anda. Lingkungan berharap Anda memiliki penampilan lainnya.

Rasa malu muncul lantaran Anda takut orang lain (sekali lagi) menilai buruk penampilan Anda. Anda takut orang lain terganggu dengan penampilan Anda, dan Anda merasa bertanggung jawab terhadap perasaan terganggu tersebut.

Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kronologi munculnya rasa malu adalah

1. Lingkungan menetapkan ekspektasi/harapan tertentu kepada Anda.

2. Anda harus memenuhi harapan itu. Jika tidak, lingkungan menilai Anda tidak berharga.

3. Suatu saat, Anda memang tidak bisa memenuhi harapan itu, dan lingkungan kecewa terhadap Anda.

4. Hal itu membuat Anda merasa bersalah; Hal itu membuat Anda merasa sebagai aib.

5. Perasaan itu melekat di alam bawah sadar Anda.

6. Akibatnya, Anda mudah sensitif dan mudah dilingkupi rasa malu.

7. Rasa malu itu merupakan bentuk pertahanan diri; Dengan malu, Anda menarik diri dari pergaulan atau menjaga jarak dengan orang lain. Tujuannya, supaya ‘aib’ dan ‘kesalahan’ Anda tidak diketahui orang lain.

8. Anda malu dan menarik diri karena Anda takut kalau-kalau orang lain mengetahui ‘aib’ dan ‘kesalahan’ Anda.

9. Anda malu karena Anda merasa bertanggung jawab apabila mereka kecewa terhadap Anda begitu mengetahui ‘aib’ dan ‘kesalahan’ Anda.

10. Tetu saja, rasa bersalah itu tidak masuk akal. Mengapa? Karena, sejatinya, Anda tidak bersalah. Anda merasa bersalah karena dulu, lingkungan menganggapnya salah.

Rasa Malu dan Rasa Bersalah/Guilt
Dari penjelasan di atas, Anda paham bahwa rasa malu muncul ketika Anda merasa ada yang salah dengan diri Anda, meskipun sebenarnya Anda tidak bersalah sama sekali.

Nah, seringkali, kita mencampuradukkan rasa malu dengan rasa bersalah/guilt.

Sebanarnya, rasa malu berbeda dari rasa bersalah/guilt.

Saat Anda merasa malu, Anda menyesali diri Anda yang tidak sesuai dengan ekspektasi/harapan orang lain. Contoh, orang lain ingin Anda menjadi sosok yang sempura dalam bekerja. Karena ekspektasi itu, ketika gagal, Anda pun merasa malu. Perasaan malu itu berasal dari rasa bersalah Anda. Sebenarnya, menurut standar moral, Anda tidaklah bersalah hanya karena mengalami kegagalan. Tetapi, demi memenuhi ekspektasi orang lain, Anda pun merasa bersalah.

Contoh lain, penampilan fisik yang ‘buruk’ menurut lingkungan Anda membuat Anda malu. Sebenarnya, menurut standar moralitas, penampilan Anda itu tidaklah salah sama sekali. Tetapi, karena demi memenuhi ekspektasi lingkungan, Anda pun merasa bersalah/malu dengan penampilan Anda, yang tidak sesuai dengan standar mereka.

Berbeda dari rasa malu, saat Anda merasa bersalah, Anda menyesali perbuatan Anda yang salah menurut standar moralitas Anda.

Jadi, rasa malu tidak terkait dengan nilai moral. Sementara itu, rasa bersalah/feel gulity terkait dengan moralitas.

Untuk lebih jelasnya, coba tentukan apakah hal ini merupakan rasa malu atau rasa bersalah.

Si A merupakan korban pelecehan seksual. Karena itu, ia merasa bersalah. Ia merasa menjadi aib. Dan, karena itu, ia menarik diri dari pergaulan.

Nah, dalam contoh di atas, apa yang dirasakan si A? Apakah ia malu atau merasa bersalah/feel guilty?

Karena dia menjadi korban pelecehan, maka dia tidak bersalah. Ia tidak melanggar nilai moral. Jadi, apa yang ia rasakan adalah malu.

Sekarang, coba simak contoh berikutnya dan tentukan apakah ini merupakan rasa malu atau rasa bersalah/feel guilty.

Si B menghina kakek berpakaian compang-camping yang duduk di meja dosen. Ia mengira kakek itu gelandangan. Tetapi, ternyata, kakek itu adalah dosen barunya. Ketika ia tahu si kakek adalah dosennya, ia pun menundukkan kepala karena merasa bersalah.

Dalam contoh di atas, apa yang dirasakan si B? Apakah ia malu atau merasa bersalah/feel guilty?

Karena dia melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan standar moral yang dianutnya, ia pun merasa bersalah/feel guilty.

Naaaaah, Anda harus bisa membedakan antara rasa malu dan rasa bersalah. Rasa malu harus dilenyapkan. Mengapa? Karena, ia datang dari ketidakrasionalan. Anda malu lantaran Anda merasa ada yang salah dengan diri Anda, meskipun sebenarnya Anda tidak bersalah sama sekali. Rasa bersalah itu tidak rasional.

Sebaliknya, ketika Anda melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan standar moral yang Anda ikuti, maka Anda perlu merasa bersalah. Mengapa? Karena, kesalahan itu nyata. Anda memang berbuat salah dan karenanya perlu merasa bersalah/menyesal supaya tidak melakukan kesalahan itu lagi. Selain itu, Anda perlu merasa bersalah supaya Anda sadar bahwa Anda harus mempertanggungjawabkan perbuatan Anda.

Sekarang, setelah mengetahui asal usul rasa malu, bagaimana cara menghilangkan rasa malu yang menyerang diri Anda?

Cara Menghilangkan Rasa Malu

Sebagaimana dijelaskan di atas, rasa malu berasal dari rasa bersalah yang tidak rasional. Anda merasa malu lantaran Anda merasa ada yang salah dengan diri Anda, meskipun sebenarnya Anda tidak bersalah sama sekali.

Nah, karena rasa bersalah itu tidak rasional, maka yang perlu Anda lakukan hanyalah TIDAK MEMPERCAYAI perasaan itu.

Contoh, lingkungan menuntut Anda untuk sempurna dalam bekerja. Mereka berharap Anda tidak pernah gagal dalam pekerjaan.

Suatu saat, Anda mengalami kegagalan dan hal itu membuat mereka kecewa.

Karena kekecewaan itu, Anda pun lantas merasa bersalah dan malu.

Sebenarnya, Anda tidak perlu merasa malu dan bersalah. Mengapa? Karena, Anda tidak bersalah sama sekali. Menurut standar moralitas, mengalami kegagalan bukanlah kesalahan. Anda boleh gagal. Mengalami kegagalan tidak membuat Anda menjadi seorang kriminal.

Oleh karena itu, cara menghilangkan rasa malu tersebut yaitu dengan tidak mempercayai rasa bersalah Anda. Yakinkan diri Anda bahwa Anda tidak bersalah. Yakinkan diri Anda bahwa Anda berhak untuk sesekali mengalami kegagalan. Yakinkan diri Anda bahwa Anda tidak perlu bertanggung jawab atas rasa kecewa orang lain terhadap kegagalan Anda.

Pikiran-Pikiran Yang Menyimpang Yang Membuat Anda Stres

22 October 2014 / Artikel / By Rina Ulwia
5 Shares
Bayangkan suatu malam Anda berada di rumah sendirian. Malam itu, kebetulan listrik di pemukiman tempat tinggal Anda padam. Saat hendak tidur, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki di luar. Jika didengarkan secara saksama, langkah kaki itu seperti menuju pintu rumah Anda. Dan, karena hal itu, Anda berpikir bahwa seorang pencuri sedang menyasar rumah Anda.

Nah, kira-kira, bagaimana perasaan Anda ketika berpikir bahwa langkah kaki itu langkah laki seorang pencuri? Anda ngeri? Takut? Deg-degan?

Sekarang, bagaimana jika Anda berpikir bahwa suara langkah kaki itu merupakan langkah kaki suami Anda? Bagaimana kira-kira perasaan Anda? Penulis berani bertaruh, Anda akan merasa nyaman, tenang, gembira, dan berharap.

Nah, sebagaimana dua ilsutrasi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa pikiran bisa memengaruhi perasaan kita. Jika kita berpikir positif, maka perasaan/suasana hati kita pun senang, tenang, dan nyaman. Sebaliknya, jika kita berpikir negatif, maka perasaan/suasana hati kita pun berubah menjadi sedih, takut, khawatir, cemas, atau stres.

Kesimpulan di atas sama halnya dengan apa yang telah dijelaskan oleh Christine A. Padesky dan Dennis Greenberger dalam buku yang berjudul Manajemen Pikiran: Metode Ampuh Menata Pikiran untuk Mengatasi Depresi, Kemarahan, Kecemasan, dan Perasaan Merusak Lainnya. Dalam buku tersebut, Padesky dan Greenberger menjelaskan adanya hubungan yang saling memengaruhi antara pikiran, perasaan (suasana hati), perilaku, dan kondisi lingkungan.

Pikiran senantiasa memengaruhi perilaku dan suasana hati. Sebaliknya, suasana hati turut memengaruhi pikiran dan perilaku kita. Lebih jauh, kondisi lingkungan/kenyataan juga berperan dalam membentuk pikiran, perasaan, dan perilaku kita.

Nah, keterkaitan antara pikiran, perasaan, perilaku, dan kondisi lingkungan ini pada ujungnya turut memengaruhi kebahagiaan dan tingkat stres yang kita alami. Pikiran yang negatif membuat orang sedih, kecewa, marah, stres, cemas, takut, dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Sebaliknya, pikiran positif membuat orang senang, gembira, bahagia, nyaman, tenang, aman, dan perasaan-perasaan positif lainnya.

Tiga macam pikiran positif
Namun demikian, bukan berarti agar bahagia kita harus selalu berpikir positif. Tentu, tidak semudah itu merubah suasana hati kita sesuai dengan yang kita mau. Nah, di sinilah peran/pengaruh kondisi lingkungan (dan kondisi yang kita alami) terhadap pikiran dan suasana hati dapat kita saksikan. Saat kita tertimpa musibah, maka seberapa keras kita mencoba untuk berpikir positif, tetap saja pikiran positif itu tidak mampu membuat kita bahagia. Mengapa? Karena, otak kita tidak mempercayai pikiran positif tersebut karena pikiran positif itu tidak sesuai dengan kenyataan/kondisi yang kita hadapi.

Jadi, ada kalanya, pikiran yang positif dapat membantu kita merasa lebih baik. Ini terutama saat pikiran tersebut sesuai dengan kenyataan/kondisi yang kita hadapi, atau saat kita belum mengetahui kenyataan/kondisi yang sebenarnya. Sebaliknya, saat pikiran positif tidak sesuai kenyataan, maka pikiran itu tidak akan banyak membantu merubah suasana hati kita.

Pada ilsutrasi di atas, jika Anda dapati bahwa yang datang ke rumah Anda adalah seorang pencuri, maka sepositif apa pun pikiran Anda, Anda pun pada ujungnya harus mengakui bahwa langkah kaki itu adalah langkah kaki pencuri. Anda tidak bisa berpura-pura berpikir bahwa yang datang adalah suami Anda.

Saat sang pencuri sudah di depan mata Anda, tentu tidak ada gunanya berpikir positif seperti ini: “Ah, tenang saja. Positif thinking. Yang datang pasti suami tercinta.”

Tetapi, saat Anda belum tahu secara pasti apakah suara langkah kaki itu suara langkah kaki suami Anda atau bukan, maka pikiran yang positif masih berguna bagi Anda. Pikiran itu dapat membuat Anda tetap tenang.

Tiga macam pikiran negatif
Sekarang, bagaimana dengan pikiran yang negatif? Sebagaimana pikiran yang positif, pikiran yang negatif pun dapat terbagi menjadi tiga: Pikiran negatif yang sesuai dengan kenyataan; Pikiran negatif yang tidak sesuai dengan kenyataan; Pikiran negatif yang belum diketahui kebenarannya (belum diketahui apakah sesuai kenyataan atau tidak).

Nah, dari tiga jenis pikiran negatif itu, ada dua pikiran negatif yang dapat membuat kita sedih, marah, kecewa, stres, depresi, dan berbagai perasaan negatif lainnya. Pikiran negatif yang bagaimanakah itu? Pikiran negatif yang sesuai dengan kenyataan dan pikiran negatif yang belum diketahui kebenarannya (belum diketahui apakah sesuai kenyataan atau tidak). Sementara itu, pikiran negatif yang tidak sesuai dengan kenyataan tidak banyak memengaruhi perasaan kita.

Dalam ilustrasi di atas, jika Anda dapati ternyata yang datang suami Anda, maka kenyataan itu niscaya menepis pikiran negatif Anda. (Andaikanlah, Anda berpikir bahwa yang datang adalah seorang pencuri. Maka, niscaya Anda akan merasa cemas. Tetapi, saat mendapati ternyata yang datang suami Anda, maka kecemasan itu pun sirna).

Dalam artikel ini, penulis akan berfokus pada pikiran negatif yang belum diketahui kebenarannya (apakah sesuai kenyataan atau tidak). untuk memudahkan dalam menyebutnya, mari kita sebut pikiran negatif yang belum diketahui kebenarannya dengan pikiran yang menyimpang/distorted thinking.

Mengapa penulis berfokus pada distorted thinking? Karena, seringkali, kita stres, kecewa, depresi, dan cemas bukan lantaran kita mengalami kondisi yang penuh tekanan dan ketegangan, melainkan lantaran pikiran-pikiran yang menyimpang/distorted thinking.

Sebagai contoh, kita tersinggung bukan lantaran orang lain menyindir kita, melainkan lantaran kita BERPIKIR/MENGIRA orang lain telah menyindir kita. Padahal, kita tidak tahu pasti apakah orang itu memang menyindir kita atau tidak.

Nah, berikut ini beberapa pikiran yang menyimpang yang dapat membuat Anda stres.

1. Tergesa-gesa menyimpulkan
Salah satu cara berpikir yang membuat Anda stres yaitu tergesa-gesa menyimpulkan. Sebagai contoh, Anda sedang menghadiri pesta pernikahan. Di pesta itu, Anda berjumpa dengan teman lama Anda. Karena sudah lama tidak bertemu, Anda pun cepat-cepat menghampiri dan menyapanya.

Mendapati Anda menyapanya, dia pun menjawab sapaan Anda. Tetapi, berbeda dengan Anda yang menyapanya dengan sumringah, ia menjawab sapaan Anda dengan raut muka yang cemberut.

Nah, melihat reaksinya, Anda pun berpikir bahwa dia tidak senang berjumpa dengan Anda. Dan, karena pikiran itu, Anda kecewa dan stres. Anda stres lantaran malu telah menyangka dia bakal menyambut Anda dengan gembira.

Di sini, penyebab Anda kecewa dan stres yaitu Anda tergesa-gesa dalam menyimpulkan reaksinya. Anda tergesa-gesa menyimpulkan bahwa ia cemberut lantaran tidak senang berjumpa dengan Anda. Padahal, belum tentu ia cemberut lantaran kehadiran Anda. Bisa jadi, ia cemberut lantaran hal lain yang tidak berkaitan dengan Anda.

Untuk itu, untuk melenyapkan perasaan negatif Anda, tanyakan langsung kepadanya apa yang membuatnya cemberut. Pastikan apa yang terjadi sebenarnya, jangan hanya mengira-ngira.

2. Mengkatastropikan masalah
Pikiran yang menyimpang dapat juga berupa katastropi. Mengkatastropikan suatu masalah sama artinya dengan membesar-besarkan/mendramatisasi masalah tersebut.

Sebagai contoh, Anda sedang mengikuti psikotest seleksi karyawaan di sebuah perusahaan. Dalam test itu, ada beberapa soal yang sulit dijawab, menurut Anda. karena hal itu, Anda pun berpikir bahwa Anda tidak akan lulus dalam test tersebut dan tidak akan diterima sebagai karyawan.

Nah, dalam contoh tersebut, apa yang membuat Anda berpikir Anda tidak bakal lulus yaitu Anda mengkatastropikan masalah yang sedang Anda hadapi, Anda mengkatastropikan soal-soal yang sulit dijawab. Dan, karena pikiran yang katastropik itu, Anda pun menjadi stres.

Untuk melenyapkan stres lantaran Anda mengkatastropikan masalah Anda, berkatalah kepada diri Anda sendiri seperti berikut: “Tenang, hanya beberapa soal, kok, yang tidak bisa dijawab. Ga semuanya. Lagipula, pertimbangan diterima atau tidak bukan hanya dari psikotest ini, tetapi juga dari wawancara nanti. Jadi, masih ada kesempatan untuk diterima.”

3. Bias konfirmasi
Bentuk penyimpangan pikiran selanjutnya yakni bias konfirmasi. Bias konfirmasi adalah cara berpikir di mana kita hanya mencari bukti yang membenarkan/mengkonfirmasi dugaan kita, dan tidak mengindahkan bukti yang menyangkal dugaan tersebut.

Sebagai contoh, sudah lebih dari 10 tahun Anda bekerja di perusahaan A. Namun demikian, Anda tidak kunjung diangkat menjadi supervisor di perusahaan itu. Sebaliknya, si B, yang baru 3 tahun bekerja di perusahaan itu sudah diangkat menjadi supervisor.

Nah, karena hal itu, Anda pun berpikir/menduga bahwa sang manajer tidak suka (secara personal) terhadap Anda. Dan, untuk mendukung pikiran/dugaan itu, Anda pun mencari-cari bukti yang mengkonfirmasi/membenarkannya, sembari mengesampingkan bukti-bukti yang menyangkalnya.

Dalam contoh di atas, bias konfirmasi membuat Anda stres. Mengapa? Bias konfirmasi membuat Anda yakin bahwa sang manajer memang tidak menyukai Anda.

Nah, agar tidak terjerumus dalam bias konfirmasi, bersikaplah seimbang. Carilah bukti yang mendukung dan bukti yang menyangkal pikiran Anda. Dengan demikian, pikiran Anda tidak bias/subjektif.

Lebih jauh, untuk menghindari bias konfirmasi, Daniel Kahneman, dalam bukunya yang berjudul Thinking, Fast and Slow, menyarankan agar kita selalu meragukan pikiran/persepsi/penilaian/dugaan kita terhadap suatu gejala.

Misal, dalam contoh di atas, Anda menduga bahwa sang manajer membenci Anda. Nah, agar tidak terjerumus dalam bias konfirmasi, maka Anda harus meragukan kebenaran dugaan Anda itu.

Saat Anda ragu terhadap dugaan Anda, tentu Anda terdorong untuk mencari-cari bukti yang menyangkal dugaan itu. Benar, bukan?

Nah, pada gilirannya, bukti-bukti yang menyangkal dugaan Anda tersebut dapat mengurangi stres Anda. Mengapa? Dugaan bahwa sang manajer membenci Anda runtuh oleh bukti-bukti yang menyangkal dugaan itu. Dengan runtuhnya dugaan Anda, maka Anda pun berhenti berpikir bahwa sang manajer membenci Anda. Ini tentu melegakan Anda, bukan?

4. Labelisasi
Bentuk penyimpangan pikiran selanjutnya yakni labelisasi. Labelisasi adalah cara berpikir di mana kita menyematkan label/identitas tertentu pada diri kita, padahal belum tentu label atau identitas itu menggambarkan diri kita yang sesungguhnya.

Sebagai contoh, Anda melabeli diri Anda sendiri dengan label “pemalas”. Dengan label itu, Anda selalu merasa serba salah saat Anda berhalangan masuk kerja, entah karena sakit atau ada urusan lainnya.

Nah, untuk menghindari labelisasi, yakinkan diri Anda bahwa identitas seseorang senantiasa berubah; Tidak ada identitas yang tetap. Tidak ada pribadi yang secara alami pemalas. Anda tidak bekerja bukan lantaran Anda seorang pemalas, melainkan lantaran ada masalah lain seperti Anda sedang bosan, sedang tidak enak badan, takut gagal, dan sebab lainnya.

5. Mendiskualifikasi informasi positif
Suatu hari Anda menerima SMS dari teman lama Anda. Dalam SMS itu, ia menanyakan kabar Anda. Selain itu, ia juga berkata bahwa ia sangat rindu kepada Anda dan teman-teman lainnya.

Menanggapi SMS itu, Anda bukannya senang, tetapi justru marah. Mengapa Anda marah? Anda berpikir ia menghubungi Anda lantaran ada maunya.

Nah, dalam ilustrasi di atas, Anda mendiskualifikasi informasi positif. Informasi positif apa yang Anda diskualifikasi? Informasi bahwa sang teman sangat rindu kepada Anda dan teman-teman lainnya. Bukan hanya itu, Anda juga merubah informasi positif itu menjadi informasi yang negatif, yakni bahwa ia menghubungi Anda lantaran ada maunya.

Di sini, informasi negatif itulah yang membuat Anda marah, stres, dan kecewa. Padahal, informasi itu belum tentu benar.

Cara berpikir seperti di atas (diskualifikasi informasi positif) merupakan cara berpikir yang menyimpang dari kenyataan. Anda tahu benar (berdasarkan informasi yang Anda dapatkan dari SMS itu) bahwa sang teman merindukan Anda. Tetapi, Anda menyangkal informasi itu dan menggantinya dengan informasi negatif.

Demikian beberapa pikiran yang menyimpang yang dapat membuat Anda stres.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar