Rabu, 10 Oktober 2018

Tawakal

Manusia diciptakan untuk diuji agar ia beramal sebaik-baiknya .

Allah yang menentukan .

Hal hal buruk akan terus berdatangan kita hanya harus berfokus pada hal baiknya saja .

Kekurangan kelebihan
Menimbulkan masalah
Mengharap kesabaran
Diberikan kelancaran
Karena hidup ujian .

Ada kekuatan yang lebih besar

Unbelieveable

AL-QUR’AN ataupun hadits Nabi Shalallaahu ‘Alaihi Wasallam yang menjadi sumber hukum dan pedoman tersepakati dalam Islam, dibahas berbagai hal tentang masalah kehidupan manusia. Lebih dari itu, kedua sumber hukum yang menjadi pedoman tersebut banyak berbicara terkait persoalan hidup demi kemaslahatan umat manusia.

Oleh karena itu, kita beruntung bisa memperoleh hidayah memeluk agama Islam. Kita menjadi makin beruntung jika kita mengamalkan ajaran agama Islam yang penuh dengan ajaran kasih sayang dan kebajikan tersebut.

Secara akidah, Islam mengajarkan tentang tauhid, yakni bertuhan dengan satu Tuhan. Ketika agama lain mengajarkan banyak tuhan, Islam hanya mengajarkan tentang satu Tuhan Yang Mahakuasa dan kekuasaan-Nya lebih dari segala tuhan yang ada. Meski demikian, Islam juga mengajarkan toleransi terhadap agama lain yang bertuhan lebih dari satu tuhan dengan ketentuan-ketentuan tertentu.

Islam tidak sekadar mengajarkan teologi, tetapi juga mengajarkan berkehidupan, baik secara individual maupun sosial, baik secara vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu, jika kita mengamalkan ajaran Islam, kita bisa mengatasi segala permasalahan hidup dan memercayakan kepada Allah tentang segala ketentuan dan kehendak-Nya.

Galau? Apalagi sekadar galau, Islam memberikan ajaran-ajaran sebagai solusi kegalauan kita. Move on? Tentunya Islam mengajarkan kita move on yang sesuai dengan syariat demi maslahat. Di dalam al-Qur’an saja terdapat berbagai ayat motivasi untuk menggugah semangat berkehidupan. Di dalam beberapa riwayat hadits pun demikian, ada banyak riwayat yang matannya menguraikan motivasi yang memicu untuk tumbuhnya semangat.

Ketika kita galau karena suatu musibah atau masalah, Islam membawakan ajaran penting untuk move on. Lebih dari sekadar bisa move on, Islam juga menyisipkan sisi religiusitas agar kita juga mendalami keislaman serta sadar diri tentang keberadaan Allah.

Allah menegaskan dalam al-Qur’an:

“(Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, ‘Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’ (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS al-Baqarah [2] 156-157)

Dari ayat tersebut kita bisa memahami betapa al-Qur’an memberikan kita pedoman ketika kita menghadapi musibah atau masalah yang membuat kita galau. Cara move on yang diajarkan menurut ayat tersebut dengan mengucap lafal tarji’, sebagaimana tertera dalam ayat di atas, yakni:

“Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali.”

Lafal tarji’ tersebut pada dasarnya bukan sekadar diucapkan, melainkan dihayati dan didalami maknanya. Dari pemaknaan lafal tarji’ tersebut, kita menyadari bahwa kita memang milik Allah dan hanya kepada Allah pula kita kembali. Dengan demikian, kita menjadi sadar bahwa kita hanyalah kecil dan tidak ada apa-apa dibandingkan Allah Yang Mahabesar. Lebih dari itu, karena kita milik Allah dan segalanya juga milik-Nya, kita akan kembali kepada-Nya ketika diminta.

Islam mengajarkan cara move on dari galau yang demikian. Oleh karenanya, selain kita bisa move on, kita juga makin sadar diri bahwa kita memang tidak berhak atas segala sesuatu, kecuali hanya karena izin Allah. Ketika kita move on dengan cara yang demikian, kita akan makin meyakini bahwa Allah Mahakuasa dan Mahaada. Untuk itu, kita menjadi bergantung kepada Allah dan memang hanya kepada-Nya kita bergantung.

Selain itu, ayat tersebut juga mengajarkan kita tentang tawakal dan kepasrahan. Artinya, jika kita menginginkan sesuatu, kita harus berusaha dan mengiringinya dengan doa. Yang penting, kita telah melakukan usaha dan doa, selebihnya kita pasrahkan kepada Allah. Dengan demikian, hal itu menjadi sangat logis dan masuk akal.

Tetapi Islam tidak mengajarkan kepasrahan belaka tanpa usaha. Misalkan, kita ingin kaya, tetapi kita tidak berusaha (bekerja dengan sungguh-sungguh) untuk menjadi orang kaya dan kita juga enggan berdoa kepada Allah, kecuali hanya pasrah, nah semacam ini penyimpangan nyata. Islam tidak mengajarkan seperti itu. Islam mengajarkan kita agar mau bekerja dan berdoa serta memasrahkan hasilnya kepada Allah.

Saat menjalani hidup justru kita menemui musibah atau masalah yang bikin galau, kita sepenuhnya sadar bahwa Allah memang berada di balik semua hal yang terjadi. Semua pasti ada hikmahnya dan kita tinggal mengucapkan lafal tarji’ yang kita sertai dengan pemaknaan lafal tersebut secara khusyuk. Setelah itu, move on lagi kemudian berusaha dan berdoa. Selebihnya, kita pasrahkan kepada Allah. Itulah tawakal dan kepasrahan yang diajarkan oleh agama kita, Islam yang rahmatan lil ‘alamin.*/Ali Abdullah, dari bukunya Galau Secukupnya Move On Secepatnya

Rep: Admin Hidcom
Editor: Syaiful Irwan

TAWAKAL: Kunci Kekuatan dan Kelapangan Hati Seorang Mukmin
Ummu Sa'id August 24, 2013 17 Comments

Seringkali dijumpai dalam firman-Nya, Allah Ta’ala menyandingkan antara tawakal dengan orang-orang yang beriman. Hal ini menandakan bahwa tawakal merupakan perkara yang sangat agung, yang tidak dimiliki kecuali oleh orang-orang mukmin. Bagian dari ibadah hati yang akan membawa pelakunya ke jalan-jalan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Diantara firman-Nya tentang tawakal ketika disandingkan dengan orang-orang beriman, “… dan bertaqwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang beriman bertawakal” (QS. Al Ma’idah: 11).

Dan firman-Nya,” Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabla dibacakan ayat-ayatNya kepada mereka, bertambahlah imannya, dan hanya kepada Rabb mereka bertawakal” (QS. Al Anfal : 2).

Tentunya masih banyak ayat lain dalam Al Qur’an yang berisi tentang tawakal, demikian pula sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun apakah itu sebenarnya tawakal? Pada pembahasan selanjutnya akan dibahas lebih terperinci mengenai tawakal.

Definisi tawakal

Imam Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Hakikat tawakal adalah hati benar-benar bergantung kepada Allah dalam rangka memperoleh maslahat (hal-hal yang baik) dan menolak mudhorot (hal-hal yang buruk) dari urusan-urusan dunia dan akhirat”

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Tawakal adalah menyandarkan permasalahan kepada Allah dalam mengupayakan yang dicari dan menolak apa-apa yang tidak disenangi, disertai percaya penuh kepada Allah Ta’ala dan menempuh sebab (sebab adalah upaya dan aktifitas yang dilakukan untuk meraih tujuan) yang diizinkan syari’at.”

Tawakal Bukan Pasrah Tanpa Usaha

Dari definisi sebelumnya para ulama menjelaskan bahwa tawakal harus dibangun di atas dua hal pokok yaitu bersandarnya hati kepada Allah dan mengupayakan sebab yang dihalalkan. Orang berupaya menempuh sebab saja namun tidak bersandar kepada Allah, maka berarti ia cacat imannya. Adapun orang yang bersandar kepada Allah namun tidak berusaha menempuh sebab yang dihalalkan, maka ia berarti cacat akalnya.

Tawakal bukanlah pasrah tanpa berusaha, namun harus disertai ikhtiyar/usaha. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan contoh tawakal yang disertai usaha yang memperjelas bahwa tawakal tidak lepas dari ikhtiyar dan penyandaran diri kepada Allah.

Dari Umar bin Al Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seandainya kalian betul-betul bertawakal pada Allah, sungguh Allah akan memberikan kalian rezeki sebagaimana burung mendapatkan rezeki. Burung tersebut pergi pada pagi hari dalam keadaan lapar dan kembali sore harinya dalam keadaan kenyang.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dan Al Hakim. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 310)

Tidak kita temukan seekor burung diam saja dan mengharap makanan datang sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan permisalan ini, jelas sekali bahwa seekor burung pergi untuk mencari makan, namun seekor burung keluar mencari makan disertai keyakinan akan rizki Allah, maka Allah Ta’ala pun memberikan rizkiNya atas usahanya tersebut.

Syarat-Syarat Tawakal

Untuk mewujudkan tawakal yang benar dan ikhlas diperlukan syarat-syarat. Syarat-syarat ini wajib dipenuhi untuk mewujudkan semua yang telah Allah janjikan. Para ulama menyampaikan empat syarat terwujudnya sikap tawakal yang benar, yaitu:

1. Bertawakal hanya kepada Allah saja. Allah berfirman: “Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, maka sembahlah Dia, dan bertawakallah kepada-Nya. Dan sekali-kali Rabb-mu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan.” (QS. Huud: 123).

2. Berkeyakinan yang kuat bahwa Allah Maha mampu mewujudkan semua permintaan dan kebutuhan hamba-hamba-Nya dan semua yang didapatkan hamba hanyalah dengan pengaturan dan kehendak Allah. Allah berfirman,“Mengapa kami tidak bertawakal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri.” (QS. Ibrahim: 12).

3. Yakin bahwa Allah akan merealisasikan apa yang di-tawakal-kan seorang hamba apabila ia mengikhlaskan niatnya dan menghadap kepada Allah dengan hatinya. Allah berfirman, “Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.“ (QS. Ath-Thalaq: 3).

4. Tidak putus asa dan patah hati dalam semua usaha yang dilakukan hamba dalam memenuhi kebutuhannya dengan tetap menyerahkan semua urusannya kepada Allah. Allah berfirman, “Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah, ‘Cukuplah Allah bagiku, tidak ada Ilah selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakal, dan Dia adalah Rabb yang memiliki ‘Arsy yang agung.’”(QS. At-taubah: 129).

Apabila seorang hamba bertawakal kepada Allah dengan benar-benar ikhlas dan terus mengingat keagungan Allah, maka hati dan akalnya serta seluruh kekuatannya akan semakin kuat mendorongnya untuk melakukan semua amalan. Dengan besarnya tawakal kepada Allah akan memberikan keyakinan yang besar sekali bahkan membuahkan kekuatan yang luar biasa dalam menghadapi tantangan dan ujian yang berat. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apabila Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya maka tidak ada yang bisa menyingkapnya selain Dia, dan apabila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang bisa menolak keutamaan dari-Nya. Allah timpakan musibah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 107)

Dengan mendasarkan diri pada keyakinan bahwa hanya Allah saja yang dapat memberikan kemudharatan maka seorang mukmin tidak akan gentar dan takut terhadap tantangan dan ujian yang melanda, seberapapun besarnya, karena dia yakin bahwa Allah akan menolong hambaNya yang berusaha dan menyandarkan hatinya hanya kepada Allah. Dengan keyakinan yang kuat seperti inilah muncul mujahid-mujahid besar dan ulama-ulama pembela agama Islam yang senantiasa teguh di atas agama Islam walaupun menghadapi ujian yang besar, bahkan mereka rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk agama Islam.

Tawakal yang sebenarnya kepada Allah Ta’ala akan menjadikan hati seorang mukmin ridha kepada segala ketentuan dan takdir Allah, yang ini merupakan ciri utama orang yang telah merasakan kemanisan dan kesempurnaan iman. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha dengan Allah Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya”

Setiap hari, dalam setiap sholat, bahkan dalam setiap raka’at sholat kita selalu membaca ayat yang mulia, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’; hanya kepada-Mu ya Allah kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan… Oleh sebab itu bagi seorang mukmin, tempat menggantungkan hati dan puncak harapannya adalah Allah semata, bukan selain-Nya. Kepada Allah lah kita serahkan seluruh urusan kita.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada Allah saja hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar beriman.” (QS. al-Ma’idah: 23). Ayat yang mulia ini menunjukkan kewajiban menyandarkan hati semata-mata kepada Allah, karena tawakal adalah termasuk ibadah.

Tawakal yang Salah

Kesalahan dalam memahami dan mengamalkan tawakal akan menyebabkan rusaknya iman dan bisa menyebabkan terjadi kesalahan fatal dalam agama, bahkan bisa terjerumus dalam kesyirikan, baik syirik akbar (syirik besar) maupun syirik asghar (syirik kecil). Adapun kesalahan dalam tawakal yang menyebabkan terjerumus dalam syirik akbar adalah seseorang bertawakal kepada selain Allah, dalam perkara yang hanya mampu diwujudkan oleh Allah. Misalnya: bertawakal kepada makhluk dalam perkara kesehatan, bersandar kepada makhluk agar dosa-dosanya diampuni atau bertawakal kepada makhluk dalam kebaikan di akhirat atau bertawakal dalam meminta anak sebagaimana yang dilakukan para penyembah kubur wali.

Adapus jenis tawakal yang termasuk dalam syirik asghar adalah bertawakal kepada selain Allah yang Allah memberikan kemampuan kepada makhluk untuk memenuhinya. Misalnya: bertawakalnya seorang istri kepada suami dalam nafkahnya, bertawakalnya seorang karyawan kepada atasannya. Termasuk dalam syirik akbar maupun asghar keduanya merupakan dosa besar yang tidak akan terampuni selama pelakunya tidak bertaubat darinya.

Penutup

Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa kesempurnaan iman dan tauhid seorang hamba ditentukan oleh sejauh mana ketergantungan hatinya kepada Allah semata dan upayanya dalam menolak segala sesembahan dan tempat berlindung selain-Nya. Jika kita yakin bahwa Allah ta’ala yang menguasai hidup dan mati kita, mengapa kita menyandarkan hati kita kepada makhluk yang lemah yang tidak bisa memberikan manfaat dan mudharat kepada kita?

Artikel Muslimah.Or.Id

Penulis: Ummu Hanif Devi Novianti

Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Tidak ada komentar:

Posting Komentar