Minggu, 10 April 2016

Allah. Takdir. (Mengapa ini terjadi padaku ya allah?).

Perjalanan kehidupan manusia tidaklah selalu sesuai diharapkan, terkadang seorang manusia harus melewati jalan terjal setelah beberapa waktu menikmati jalan yang landai. Hari-harinya pun penuh warna, terkadang gembira namun sewaktu-waktu ia dihampiri rasa sedih, duka dan nestapa, inilah tabiat kehidupan. Tak ada yang dapat mengelak dari kenyataan ini, Allah berfirman:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4).

Di antara kesedihan yang banyak menimpa manusia adalah kondisi dimana seseorang mendapatkan sesuatu yang tidak diharapkannya. Banyak orang yang berusaha menggapai sesuatu yang kelihatannya baik, ia mati-matian mendapatkannya dan mengorbankan apapun yang ia miliki demi terwujudnya impian itu. Tetapi tanpa disadari hal itu tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Ketika hal seperti ini terjadi, tak sedikit orang yang menyalahkan pihak lain, bahkan Allah, Rabb yang mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-hamba-Nya pun tak luput untuk disalahkan. Orang-orang seperti ini, hendaknya mengingat sebuah firman Allah:

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).

Ayat ini merupakan kaidah yang agung, kaidah yang memiliki hubungan erat dengan salah satu prinsip keimanan, yaitu iman kepada qadha dan qadar. Musibah-musibah yang menimpa manusia semuanya telah dicatat oleh Allah lima puluh ribu tahun sebelum Dia menciptakan langit dan bumi. Meletakkan ayat di atas sebagai pedoman hidup akan membuat hati ini tenang, nyaman dan jauh dari keresahan. Andai kita mau kembali melihat lembaran-lembaran sejarah di dalam Al-Qur’an, membuka mata tuk mengamati realita yang ada, niscaya kita akan menemukan pelajaran-pelajaran dan bukti yang sangat banyak. Bukti yang menunjukkan bahwa keputusan Allah adalah yang terbaik, di antaranya adalah:

Kisah ibunda Nabi Musa ‘alaihissalam yang menghanyutkan anaknya di atas laut. Lihatlah, kecemasan dan ketakutan yang luar biasa menginggapi saat mengetahui anaknya berada di tangan keluarga raja Fir’aun. Tetapi, tanpa diduga tragedi itu berbuah manis di kemudian hari.
Perhatikan pula dengan seksama kisah hidup Nabi Yusuf ‘alaihissalam, maka kamu akan menemukan bahwa kaidah ini cukup menggambarkan drama mengharukan antara Nabi Yusuf dan sang ayah, Nabi Ya’qub ‘alaihimassalam.
Lihatlah kisah bocah laki-laki yang dibunuh oleh Nabi Khidir ‘alaihissalam atas perintah langsung dari Allah. Apa yang dilakukan oleh Nabi Khidir itu membuat Nabi Musa ‘alahissalam bertanya-tanya, maka Nabi Khidir pun memberikan jawaban yang kata-katanya diabadikan di dalam al-Qur’an.
وَأَمَّا الْغُلَامُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَا أَنْ يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا (80) فَأَرَدْنَا أَنْ يُبْدِلَهُمَا رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا (81)

“Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mukmin, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran. Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).” (QS.Al-Kahfi: 80-81).

Renungkan pula kisah Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha yang ditinggal wafat oleh suaminya Abu Salamah radhiyallahu ‘anhu. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tiada seorang muslim yang ditimpa musibah, lalu ia mengucapkan doa yang diperintahkan oleh Allah:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللهُمَّ أْجُرْنِي فِي مُصِيبَتِي، وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا، إِلَّا أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا

‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kami akan kembali kepada-Nya. Ya Allah, limpahkan pahala kepadaku atas musibah yang menimpaku dan berikanlah gantinya yang lebih baik.’Kecuali Allah akan member gantinya yang lebih baik.’ Ummu Salamah berkata, Ketika Abu Salamah meninggal dunia aka bertanya,’Siapa di antara seorang mu’min yang lebih baik dari Abu Salamah?! Siapakah penghuni rumah yang pertama kali hijrah kepada Rasulullah?! Kemudian aku mengucapkan doa di atas. Lalu Allah menggantikannya dengan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda. (HR. Muslim no. 918).

Demikianlah Ummu Salamah menjalankan apa yang diperintahkan untuk dilakukan saat menerima musibah; bersabar, membaca istirja’ (kalimat inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) dan mengucapkan doa di atas, maka Allah menggantinya dengan yang terbaik, yang tidak ia bayangkan sebelumnya.

Inti dari semua ini adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh seorang penyair,

عَلَى الْمَرْءِ أَنْ يَسْعَى إِلَى الْخَيْرِ جُهْدَهُ

وَلَيْسَ عَلَيْهِ أَنْ تَتِمَّ الْمَقَاصِدُ

Seseorang seharusnya berusaha sekuat tenaganya mendapatkan kebaikan

Tetapi, ia tidak akan bisa menetapkan keberhasilannya

Segala sesuatu yang terjadi pada seorang muslim dan hal tersebut tidak sesuai dari apa yang diharapkannya adalah salah satu bentuk kasih sayang-Nya. Ujian itu hadir dengan tujuan menuntut mereka menuju kesempurnaan diri dan kesempurnaan kenikmatan-Nya. Jangan buru-buru mencela musibah yang Allah berikan, yakinlah ketetapan Allah adalah yang terbaik. Allah juga berfirman:

فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’: 19).

Wallahu A’lam.

Setiap peristiwa yang dialami seseorang senantiasa mengandung hikmah yang diselipkan Allah Azza wa Jalla. Tujuan Allah meletakkan hikmah itu, tidak lain agar manusia dapat menjadikannya sebagai pelajaran (ibrah), dan mengambil manfaat darinya untuk kemudian dijadikan dasar dalam menapaki kehidupan. Dalam cerita-cerita yang disampaikan Allah melalui al Quran, Allah senantiasa menekankan betapa pentingnya kecerdasan sebagai wasilah untuk memahami hikmah di balik peristiwa-peristiwa yang terjadi.
Kesadaran akan peran serta Allah dalam setiap peristiwa, hendaknya diiringi pula dengan berprasangka baik kepada Allah swt. Sebab, manusia yang hidupnya selalu diliputi dengan prasang buruk, jangankan memperoleh hikmah dari peristiwa-peristiwa yang dialaminya, mendapatkan hidayah saja boleh dikatakan mustahil. Sehingga hidupnya akan senantiasa dirundung kegalauan. Karenanya, untuk mengetahui hikmah dari setiap peristiwa yang sedang menimpa, hendaknya seseorang mengedepankan sikap berprasangka baik atau husnudzan kepada Sang Maha Pencipta. Terlebih, berprasangka baik kepada Allah swt. merupakan bentuk ibadah yang lain. Nabi Muhammad saw. bersabda:إِنَّ حُسْنَ الظَّنِّ بِاللَّهِ مِنْ حُسْنِ عِبَادَةِ اللَّهِArtinya: “Sesungguhnya berbaik sangka kepada Allah adalah sebagian dari baiknya beribadah kepada Allah.” (HR. Ahmad)Selain itu, jika seseorang telah berbaik sangka kepada Allah, maka berarti ia telah percaya terhadap semua tindakan Allah. Dan tentunya, ia juga harus yakin bahwa di balik tindakan Allah pasti terkandung hikmah, kebaikan, dan manfaat bagi dirinya.Karena tidak ada tindakan Allah yang tergolong sia-sia. Allah swt. Berfirman:وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَاْلأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لاَعِبِينَArtinya: “Dan tidaklah Kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (QS. Al-Anbiya’; 16)وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَاْلأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلاًArtinya: “Dan tidaklah Kami ciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya sesuatu yang batil (tanpa hikmah).” (QS. Shad: 27)Pembaca yang arif…Di antara kelompok yang dikenal sebagai ahli dalam mencari hikmah adalah ulama sufi. Para ulama sufi memiliki teknis khususdalam menggali hikmah. Yakni, dengan mengamalkan ilmu-ilmu yang sudah dimiliki. Karena Nabi sendiri mengatakan;مَنْ عَمِلَ بِمَا يَعْلَمُ وَرَّثَهُ الله ُعِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْArtinya: “Barangsiapa mengamalkan ilmu yang sudah ia dapatkan, maka Allah akan memberikan pengetahuan yang belum pernah ia ketahui.”Imam al-Ghazali mengatakan bahwa, hikmah tersebar di mana-mana dan tidak terhitung jumlahnya, karena terlalu banyak dan begitu luasnya. Hikmah hanya dapat dibuka dengan mujahadah, muraqabah, danmengerjakan amal-amal lahir dan batin. Duduk bersama Allah dalam kesenderian (al-khalwah) dan penuh kesadaran (hudlur al-qalbi), itulah pintu ilham dan sumber keterbukaan (hikmah).
Di balik setiap peristiwa pasti ada hikmahnya. Ulama ushul fikih mengartikan hikmah sebagai manfaat yang diperoleh dan marabahaya yang dapat dijauhi. Jika kita terapkan dalam peristiwa yang kita alami, berarti pengalaman-pengalaman yang dapat kita ambil manfaatnya, dapat kita gunakan untuk menangkal hal-hal yang membahayakan dan membuat usaha kita gagal. Dengan demikian, kita telah berusahamenjadi orang yang cerdas dalam memanfaatkan hikmah Ilahiyah, pengajaranAllah untuk kehidupan kita. Maka, sungguh beruntung orang yang dianugerahi hikmah. Allah swt. berfirman;يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُولُو اْلأَلْبَابِArtinya: “Allah menganugerahkan “hikmah” kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran(dari firman Allah).” (QS. Al-Baqarah; 269)Syaikh Ibrahim An-Nakha’i mengatakan bahwa, arti dari “al-hikmah” dalam ayat di atas adalah pemahaman. Jadi, orang yang dianugerahi pemahaman (terutama tentanghal-hal yang dapat menjadikan ia lebih dekat kepada Allah) telah mendapatkan anugerah dan karunia yang banyak, baik karunia keduniawian maupun karunia kerohanian.Pembaca yang dimuliakan Allah…Akhir kata, marilah kita berdoa bersama-sama, semoga kita dijadikan orang yang cerdik dalam memahami dan menghayati hikmah di balik setiap peristiwa yang kita alami. Menjadikan kita semakin dekat kepada Sang Sumber hikmah, Allah swt. Sehingga kita termasuk dalam golongan orang-orang yang mendapat karunia yang banyak. Allahumma amin…

Pemimpin.

Konsep Kebahagiaan Dalam IslamKondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah. yang senantiasa dikejar oleh manusia. Manusia ingin hidup bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, dan sejahtera. Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Dia menyangka bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagaiaan.Ada yang mengejar kebahagiaan padatahta, pada kekuasaan. Beragam cara dia lakukan untuk merebut kekuasaan.Sehab menurtnya kekuasaan identik dengan kebahagiaan dan kenikmatan dalam kehidupan. Dengan kekuasaan sesrorang dapat berbuat banyak. Orang sakit menyangka, bahagia terletak pada kesehatan. Orang miskinmenyangka, bahagia terletak pada harta kekayaan. Rakyat jelata menyangka kebahagiaan terletak padakekuasaan. Dan sangkaan-sangkaan lain.Lantas apakah yang disebut"bahagia' (sa'adah/happiness)?Selama ribuan tahun, para pemikir telah sibuk membincangkan tentang kebahagiaan. Kebahagiaan adalah sesuatu yang ada di luar manusia, danbersitat kondisional. Kebahagiaan bersifat sangat temporal. Jika dia sedang berjaya, maka di situ ada kebahagiaan. Jika sedang jatuh, maka hilanglah kebahagiaan. Maka. menurut pandangan ini tidak ada kebahagiaan yang abadi dalam jiwa manusia. Kebahagiaan itu sifatnya sesaat, tergantung kondisi eksternal manusia. Inilah gambaran kondisi kejiwaan masyarakat Barat sebagai:"Mereka senantiasa dalam keadaan mencari dan mengejar kebahagiaan, tanpa merasa puas dan menetap dalam suatu keadaan.Islam menyatakan bahwa"Kesejahteraan' dan "kebahagiaan" itu bukan merujuk kepada sifat badani dan jasmani insan, bukan kepada diri hayawani sifat basyari; dan bukan pula dia suatu keadaan hayali insan yang hanva dapat dinikmati dalam alam fikiran belaka.Keselahteraan dan kebahagiaan itu merujuk kepada keyakinan diri akan hakikat terakhir yang mutlak yang dicari-cari itu — yakni: keyakinan akan Hak Ta'ala — dan penuaian amalan yang dikerjakan oleh diri berdasarkan keyakinan itu dan menuruti titah batinnya.'Jadi, kebahagiaan adalah kondisi hati yang dipenuhi dengan keyakinan (iman) dan berperilaku sesuai dengan keyakinannya itu. Bilal bin Rabah merasa bahagia dapat mempertahankan keimanannya meskipun dalam kondisi disiksa. Imam Abu Hanifah merasa bahagia meskipun harus dijebloskan ke penjara dan dicambuk setiap hari, karena menolak diangkat menjadi hakim negara. Para sahabat nabi, rela meninggalkan kampung halamannya demi mempertahankan iman. Mereka bahagia. Hidup dengan keyakinan dan menjalankan keyakinan.Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannva. Sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Apakah kamu tidak memahaminya?Menurut al-Ghazali, puncak kebahagiaan pada manusia adalah jika dia berhasil mencapai ma'rifatullah", telah mengenal Allah SWT. Selanjutnya, al-Ghazali menyatakan:"Ketahuilah bahagia tiap-tiap sesuatu bila kita rasakan nikmat, kesenangan dan kelezatannya mara rasa itu ialah menurut perasaan masing-masing. Maka kelezatan (mata) ialah melihat rupa yang indah, kenikmatan telinga mendengar suara yang merdu, demikian pula segala anggota yang lain dan tubuh manusia.Ada pun kelezatan hati ialah ma'rifat kepada Allah, karena hati dijadikan tidak lain untuk mengingat Tuhan. Seorang rakyat jelata akan sangat gembira kalau dia dapat herkenalan dengan seorang pajabat tinggi atau menteri; kegembiraan itu naik berlipat-ganda kalau dia dapat berkenalan yang lebih tinggi lagi misalnya raja atau presiden.Maka tentu saja berkenalan dengan Allah, adalah puncak dari segala macam kegembiraan. Lebih dari apa yang dapat dibayangkan oleh manusia, sebab tidak ada yang lebih tinggi dari kemuliaan Allah. Dan oleh sebab itu tidak ada ma'rifat yang lebih lezat daripada ma'rifatullah.Ma'rifalullah adalah buah dari ilmu. Ilmu yang mampu mengantarkan manusia kepada keyakinan. bahwa tiada Tuhan selain Allah" (Laa ilaaha illallah). Untuk itulah, untuk dapat meraih kebahagiaan yang abadi, manusia wajib mengenal Allah. Caranya, dengan mengenal ayat-ayat-Nya, baik ayat kauniyah maupun ayat qauliyah.Banyak sekali ayat-ayat al-Quran yang memerintahkan manusia memperhatikan dan memikirkan tentang fenomana alam semesta, termasuk memikirkan dirinya sendiri.Disamping ayat-ayat kauniyah. Allah SWT juga menurunkan ayat-ayat qauliyah, berupa wahyu verbal kepada utusan-Nya yang terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Karena itu, dalam QS Ali Imran 18-19, disebutkan, bahwaorang-orang yang berilmu adalah orang-orang yang bersaksi bahwa"Tiada tuhan selain Allah", dan bersakssi bahwa "Sesungguhnya ad-Din dalam pandangan Allah SWT adalah Islam."Inilah yang disebut ilmu yang mengantarkan kepada peradaban dan kebahagiaan. Setiap lembaga pendidikan. khususnya lembaga pendidikan Islam. harus mampu mengantarkan sivitas akademika-nya menuju kepada tangga kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Kebahagiaan yang sejati adalah yang terkait antara dunia dan akhirat.Kriteria inilah yang harusnya dijadikan indikator utama, apakah suatu program pendidikan (ta'dib) berhasil atau tidak. Keberhasilan pendidikan dalam Islam bukan diukur dari berapa mahalnya uang hayaran sekolah; berapa banyak yang diterima di Perguruan Tinggi Negeri dan sebagainya. Tetapi apakah pendidikanitu mampu melahirkan manusia-manusia yang beradab yang mengenal Tuhannya dan beribadah kepada Penciptanya.Manusia-manusia yang berilmu seperti inilah yang hidupnya hahagia dalam keimanan dan keyakinan: yang hidupnya tidak terombang-ambing oleh keadaan. Dalam kondisi apa pun hidupnya bahagia, karena dia mengenal Allah, ridha dengan keputusanNya dan berusaha menyelaraskan hidupnya dengan segala macam peraturan Allah yang diturunkan melalui utusan-Nya.Karena itu kita paham, betapa berbahayanya paham relativisme kebenaran yang ditaburkan oleh kaum liberal. Sebab, paham ini menggerus keyakinan seseorang akan kebenaran.Keyakinan dan iman adalah harta yangsangat mahal dalam hidup. Dengan keyakinan itulah, kata Igbal, seorang Ibrahim a.s. rela menceburkan dirinya ke dalam api. Penyair besar Pakistan ini lalu bertutur hilangnya keyakinan dalam diri seseorang. lebih buruk dari suatu perbudakan.Sebagai orang Muslim, kita tentu mendambakan hidup bahagia semacarn itu; hidup dalam keyakinan: mulai dengan mengenal Allah dan ridha, menerima keputusan-keputusan-Nva, serta ikhlas menjalankan aturan-aturan-Nya. Kita mendambakan diri kita merasa bahagia dalam menjalankan shalat, kita bahagia menunaikan zakat, kita bahagia bersedekah, kita bahagia menolong orang lain, dan kita pun bahagia menjalankan tugas amar ma'ruf nahi munkar.Dalam kondisi apa pun. maka"senangkanlah hatimu!" Jangan pernahbersedih."Kalau engkau kaya. senangkanlah hatimu! Karena di hadapanmu terbentang kesempatan untuk mengerjakan yang sulit-sulit melalui hartamu."Dan jika engkau fakir miskin, senangkan pulalah hatimu! Karena engkau telah terlepas dari suatu penyakit jiwa, penyakit kesombongan yang sering menimpa orang-orang kaya. Senangkanlah hatimu karena takada orang yang akan hasad dan dengki kepadamu lagi, lantaran kemiskinanmu...""Kalau engkau dilupakan orang, kurang masyhur, senangkan pulalah hatimu! Karena lidah tidak banyak yang mencelamu, mulut tak banyak mencacimu..."Mudah-mudahan. Allah mengaruniai kita ilmu yang mengantarkan kita padasebuah keyakinan dan kebahagiaan abadi, dunia dan akhirat. Amin.

Waktu dan baiknya tidak relevan
Wajah relatif
Kepada manusia (pacar) akan ada rasa takut kehilangan
Takdir
Dengan percaya pada takdir (allah)
Kamu akan tetap dan selalu merasa memiliki.
Tenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar