Selasa, 17 Maret 2020

distorsi kognitif .

Katastropik,  filter mental,  over generasi zing dan pemikiran "harus" . 

Me
Memikirkan kemungkinan terburuk dari segala hal .

Hirup urg geus cukup lieur .

Sudut pandang kebencian, sakit hati, negative .

Kaya akan nikmat .
Big picture .

Masalah hidup .

Terlalu memikirkan masa depan, membayangkan sejauh mana sesuai keadaan yg dapat kamu perkirakan, dan khawatir bagaimana mengatasi apa yang akan terjadi, padahal kamu hanya tinggal menjalani dan melewatinya .

Tua dan meninggal .

Terlalu banyak mengingat hal buruk, ditambah masa depan yang penuh dengan ketidak pastian .

Biasa, buruk . Fokus .

Enam Distorsi Pemikiran Penyebab Munculnya Kecemasan
Rabu, 08 Mei 2019 13:34
Anda Nurlaila,  
    

Pola pikir dapat merugikan dan cenderung mendorong terjadinya kecemasan. (Foto: Pexels.com)
Kecemasan adalah suatu gangguan psikologis yang dapat ditandai dengan beberapa rasa seperti rasa takut, keprihatinan terhadap masa depan, kekhawatiran yang berkepanjangan, gugup dan lainnya.



Jakarta: Setiap orang memiliki berbagai cara berpikir atas segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya. Namun ada pola-pola berpikir yang bisa menjadi perangkap pikiran, sering disebut distorsi kognitif. 

Pola pikir tersebut dapat merugikan dan cenderung mendorong terjadinya kecemasan. Health mencatat ada beberapa pola berpikir yang mendorong rasa cemas:
1. Katastropik

Berpikir tentang sesuatu yang jauh lebih buruk daripada sebenarnya benar-benar memperkuat kecemasan. Pikiran ini akan membuat seseorang menyimpulkan hal terburuk atau bencana yang mungkin terjadi.
 
Pemikiran katastropik umumnya terjadi dalam dua bentuk. Pertama memandang situasi saat ini sebagai sesuatu yang negatif. Yang kedua terjadi ketika melihat ke masa depan dan menganggap semua hal yang akan terjadi salah. Ada beberapa langkah untuk memutus siklus berpikir negatif ini:

Kenali saat berpikir katastropik

Rekam pikiran negatif, lalu tuliskan situasi seobjektif mungkin serta apa reaksi atau perilaku Anda. Ubah pemikiran internal menjadi lebih pemaaf dan penuh harapan

Alih-alih mencoba menghentikan berpikir tentang bencana yang akan terjadi, sadari bahwa hal terburuk yang dapat terjadi bisa tak seburuk yang Anda bayangkan.
2. Pemikiran terpolarisasi

Terjadi ketika Anda percaya bahwa hanya ada dua hasil atau pandangan, yaitu benar atau salah. Jika Anda melihat dalam kenyataannya tidak ada hal yang baik atau buruk murni, hal ini mengarah pada tingkat stres tinggi.  

Umumnya pikiran terpolarisasi didasarkan pada harapan pada satu peristiwa atau hasil tunggal. Ada beberapa cara mengatasinya:

- Sadarilah bahwa ada banyak tingkatan antara kemenangan dan tragedi. Sebagian besar yang terjadi berada di antara kedua hal ini.
- Pahami bahwa tidak ada pencapaian atau kegagalan tunggal yang menentukan kebahagiaan masa depan.
- Jangan menganggap bahwa nilai-nilai Anda tidak akan pernah berubah atau orang lain akan menghargai hal yang sama seperti Anda.
- Cobalah untuk mencari tahu apa konsekuensi aktual dari kegagalan, dan rencanakan untuk menangani konsekuensi tersebut.



(Pemikiran katastropik umumnya terjadi dalam dua bentuk. Pertama memandang situasi saat ini sebagai sesuatu yang negatif. Yang kedua terjadi ketika melihat ke masa depan dan menganggap semua hal yang akan terjadi salah. Foto: Pexels.com)
3. Penyaringan

Pemfilteran akan mengambil detail negatif dan memperbesarnya sambil membuang semua aspek positif dari suatu situasi. Misalnya, seseorang dapat memilih satu detail yang tidak menyenangkan dan memikirkannya secara eksklusif, sehingga visi mereka tentang kenyataan menjadi gelap atau terdistorsi.

Untuk mengatasinya

Belajar untuk mengevaluasi hal-hal dengan jelas dan obyektif, bahkan jika merasa hal tersebut memang negatif.

Cari sudut pandang positif

Hindari meminimalkan upaya dan pencapaian Anda. Akui perkembangan sendiri dengan membandingkan hal-hal yang Anda lakukan lebih baik daripada sebulan, tahun atau lima tahun yang lalu.
4. Personalisasi

Cara berpikir ini menganggap semua yang dilakukan dan dikatakan orang adalah ko menyalahkan diri sendiri. Ini juga bisa menjadi sebuah kecemasan pada diri Anda.

Kesalahan berpikir ini adalah bahwa Anda menafsirkan setiap pengalaman, setiap percakapan terlihat sebagai petunjuk untuk nilai dan nilai Anda sendiri.

Cara mengatasinya:

- Pahamilah bahwa orang lain mungkin tidak sadar sedang mempertontonkan suasana hati mereka yang buruk.
- Sadarilah bahwa orang lain juga mengalami banyak halburuk.
- Jika merasa telah melakukan kesalahan, sebaiknya tanyakan.
- Jika tidak ada yang muncul dalam pikiran, sadarilah mungkin Anda merasa bersalah akibat pikiran personalisasi. Amati perasaan tersebut.

Hindari membuat kesimpulan bahwa Anda akan melakukan kesalahan di kesempatan lain. Cobalah untuk tidak mengubah perilaku di sekitar orang tersebut, suasana hati mereka adalah masalah mereka sendiri.



(Ubah pemikiran internal menjadi lebih pemaaf dan penuh harapan. Foto: Pexels.com)
5. Generalisasi berlebihan

Generalisasi berlebihan adalah kesimpulan yang didasarkan pada satu insiden atau bukti. Jika sesuatu yang buruk terjadi sekali, Anda berharap hal itu terjadi berulang kali.

Menggunakan kata "selalu" dan "tidak pernah" adalah petunjuk bahwa seseorang sering menggunakan gaya berpikir ini.

Distorsi ini dapat menyebabkan kehidupan yang terbatas, karena Anda menghindari kegagalan di masa depan berdasarkan pada satu insiden atau peristiwa.

Cara mengatasinya:

Amati kecenderungan melakukan generalisasi berlebihan dalam kehidupan sehari-hari. Cobalah melihat fakta, apakah benar-benar “selalu” atau “tidak pernah” atau apakah Anda mendramatisasi kenyataan? Keluarkan emosi Anda dari fakta.

Cobalah memperlakukan peristiwa secara terpisah, alih-alih menganggap sesuatu di masa lalu sebagai prediktor tentang apa yang akan terjadi di masa depan.
6. Kesalahan atribusi

Mirip dengan generalisasi berlebihan, Anda percaya dapat mengetahui dengan tepat alasan seseorang atas perilaku mereka. Padahal bisa jadi mereka mungkin bertindak tidak disengaja atau tidak menyadarinya.  

Cara menanganinya:

Perhatikan "konsensus". Jika kebanyakan orang berperilaku sama jika berada dalam situasi sama, maka keadaanlah yang lebih mungkin menjadi penyebab perilaku tersebut.

Tanyakan pada diri bagaimana Anda akan berperilaku dalam situasi yang sama. Cari penyebab yang tidak terlihat, khususnya faktor yang kurang menonjol.

Langkah-langkah sederhana untuk menantang distorsi kognitif

Tanyakan kepada diri sendiri. "Apa yang ada dalam pikiran saya?" Atau "Ada apa dengan situasi ini yang membuat saya kesal?"

Tantang pikiran Anda. Ingat, hanya karena Anda berpikir sesuatu tidak berarti itu benar. Tanyakan kepada diri sendiri: "Apakah pikiran ini bermanfaat?"; "Apakah saya bersikap realistis?"; "Apakah orang lain dalam situasi ini akan memikirkan hal ini?"; "Apakah ini contoh dari salah satu perangkap akal sehat?"

Pertimbangkan strategi berikut dan tanyakan pada diri sendiri beberapa pertanyaan ini:

Cari bukti: Apa bukti untuk dan melawan pikiran saya? Apakah saya fokus pada yang negatif dan mengabaikan informasi lain? Apakah saya langsung mengambil kesimpulan tanpa melihat semua fakta?

Cari penjelasan alternatif:

Apakah ada penjelasan lain yang memungkinkan? Apakah ada cara lain untuk melihat ini? Apakah saya terlalu kaku dalam berpikir?

Masukkan pemikiran ke dalam perspektif: Apakah seburuk yang saya bayangkan? Apa hal terburuk yang bisa terjadi? Seberapa besar kemungkinan hal terburuk akan terjadi? Bahkan jika itu benar-benar terjadi, apakah itu akan seburuk itu? Apa yang bisa saya lakukan untuk melewatinya?

Apa pemikiran yang lebih bermanfaat? Apa yang bisa saya katakan kepada diri  sendiri yang akan membantu saya tetap tenang dan membantu saya mencapai apa yang ingin saya capai dalam situasi ini?

Jika Anda masih merasa cemas dan membutuhkan beberapa layanan konsultasi psikologi beberapa tempat konsultasi psikologi bisa Anda kunjungi antara lain, Klinik Terpadu - Fakultas Psikologi UI, Daya Insani, Konsultan Psikologi & Hipnoterapi, atau Yayasan Praktek Psikolog Indonesia. 
Ingin merasa di inginkan, berharga dan berguna .

Distorsi Kognitif: Ketika Cara Berpikirmu Berbahaya

 Pijar Psikologi
2 years ago

Di artikel sebelumnya, kita sudah berkenalan singkat dengan Cognitive Behaviour Therapy (CBT) yang banyak digunakan untuk perlakuan terhadap depresi dan banyak gangguan psikologis lainnya. Selanjutnya, mari kita berkenalan lebih dekat dengan satu istilah yang akan sering muncul saat membicarakan CBT; distorsi kognitif. Distorsi kognitif adalah kesalahan logika dalam berpikir, serta kecenderungan berpikir yang berlebihan serta tidak rasional. Apabila dibiarkan, kesalahan ini akan menjadi kebiasaan, mempengaruhi kondisi emosi kita, serta termanifestasi dalam perilaku. Berikut adalah jenis-jenis distorsi kognitif yang mungkin kita alami:

Filter mental (Mental filter)
Kacamata membantu kita untuk melihat, tapi kacamata hitam membantu kita untuk tidak melihat sinar matahari yang terlalu terang. Distorsi kognitif ini adalah seperti memakai kacamata hitam untuk memandang dunia. Kita akan terfokus hanya pada hal-hal yang negatif saja dan mengabaikan aspek positif yang ada. Misalnya, kita tidak suka pelajaran Matematika di sekolah, kita akan langsung berpikir bahwa sekolah itu menyebalkan, dan mengabaikan fakta bahwa banyak hal lain yang positif tentang sekolah selain matematika.

Black and white thinking
Atau sering disebut juga pemikiran “Semua atau tidak sama sekali”. Distorsi kognitif ini membuat kita berpikir hanya di dua titik ekstrem. Orang-orang pasti baik atau jahat. Hidup akan berjalan lancar atau buruk. Peristiwa yang kita alami hanya terdiri dari kejadian baik atau buruk. Saat kita berbuat kesalahan dalam ujian misalnya, kita akan langsung berpikir bahwa kita adalah siswa yang buruk dan segalanya akan rusak.

Pemberian cap atau label (Labelling)
Mirip dengan black and white thinking, distorsi kognitif ini membuat kita memberi label pada siapapun; orang lain, ataupun kita sendiri. Padahal, setiap orang punya banyak sisi dan tidak mungkin satu label dapat mendeskripsikan keseluruhan sisi seseorang. Misalnya, kita mendapat kritik dari atasan, lalu langsung mencap diri sendiri bodoh dan tidak kompeten. Lalu membuat kita tidak bersemangat saat bekerja, padahal kritik yang didapat hanya tentang satu bagian kecil dari keseluruhan tanggung jawab di kantor. Atau, saat kita mencap seseorang bodoh, maka segala yang ia lakukan akan salah bahkan walaupun sebenarnya tidak begitu.

Overgeneralisasi (Overgeneralizing)
Distorsi kognitif ini terjadi saat kita terlalu menggeneralisasi sesuatu. Misalnya, seseorang pernah gagal dalam berpacaran padahal sudah akan menikah. Lalu ia menggeneralisasi bahwa semua lawan jenis memang jahat, serta timbul trauma dalam hubungan romantis karena distorsi pikiran yang menempatkan satu pengalaman buruk sebagai norma untuk pengalaman di masa depan.

Loncatan ke simpulan (Jumping to conclusions)
Distorsi kognitif ini adalah saat kita membuat kesimpulan tanpa memiliki bukti yang mendukung. Contohnya, saat akan ada ujian, kita beranggapan akan gagal. Hal ini tentu tidak baik karena ujian belum terlaksana, hasil ujian belum keluar, dan sebenarnya masih banyak waktu untuk mempersiapkan materi ujian. Pikiran seperti ini malah akan membuat kita merasa bahwa hal negatif sudah terjadi dan menghalangi kita melakukan persiapan yang maksimal.

Membaca pikiran (Mind reading)
Adalah saat seseorang memprediksi apa yang orang lain pikirkan tanpa adanya bukti yang mendukung. Misalnya, suatu hari kamu berpapasan dengan seorang teman, tapi ia tidak menyapa. Kamu langsung berpikir hal negatif tentangnya (Wah, dia sombong sekali tidak menyapa; Apakah dia tidak mau berteman lagi denganku?: Apakah aku tidak dia anggap teman?). Padahal, bisa saja asumsi negatif yang kita pikirkan tidak sesuai dengan apa yang dia pikirkan atau apa yang sebenarnya terjadi. Atau bisa saja temanmu memang sedang tidak fokus dan banyak hal yang ada di pikirannya saat berpapasan denganmu.

Pemikiran “Harus”
Distorsi kognitif membuat kita terjebak dalam suatu ideal yang menurut kita harus orang lain atau kita sendiri lakukan. Pemikiran seperti “Semua orang harus mengerti perasaanku, dong!”, “Seharusnya dia lebih ramah sama orang lain,” atau “Harusnya aku lebih berani berpendapat, jadi aku ga bakal dipandang buruk oleh teman-teman” dapat membuat kita tertekan atau frustrasi karena adanya pemikiran harus yang tidak ni realistis.

Personalisasi (Personalizing)
Adalah saat kita merasa bersalah atau bertanggungjawab secara personal atas sesuatu yang mungkin bukan sepenuhnya kesalahan kita. Contohnya, saat pertandingan olahraga dan tim kita kalah kemudian kita menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab kekalahan tim, padahal yang bermain di pertandingan tersebut tidak hanya kita sendiri.

Penalaran emosional (Emotional reasoning)
Saat kita terlalu fokus pada emosi dan memberikan porsi yang terlalu banyak pada sisi emosional saat memandang atau memutuskan sesuatu. Saat kita merasa tidak yakin, tidak nyaman atau tidak mampu menghadapi sesuatu, kita lalu beranggapan bahwa kita tidak akan bisa melakukannya. Kata-kata “Saya merasa tidak bisa..”, “Saya kayaknya tidak mampu,” menjadi berbahaya karena sebenarnya pemikiran berlandaskan emosi negatif ini dapat mempengaruhi keputusan dan tindakan yang diambil.

Pembesaran atau pengecilan (Magnifying atau Minimising)
Saat kita memandang sesuatu tidak sesuai dengan porsinya. Kemungkinan pertama adalah pembesaran, yaitu saat kita membesarkan hal negatif yang terjadi lebih dari apa yang sebenarnya menjadi porsinya. Kemudian, kemungkinan kedua adalah mengecilkan pencapaian atau hal positif. Kedua hal ini menjadi berbahaya karena kita akan cenderung berpikir secara negatif apapun yang terjadi, bahkan walaupun hal positif terjadi di dalam hidup.

Standar ganda (Double standard)
Yaitu saat kita memiliki standar yang berbeda untuk kita dan orang lain. Misalnya satu kesalahan yang sama, saat dilakukan oleh kita menjadi sangat negatif namun saat dilakukan orang lain kita berpikir “Ah, hal itu dapat terjadi ke siapa saja,”, ataupun sebaliknya. Distorsi ini membuat kita melihat sesuatu tidak sesuai dengan apa yang terjadi dan nantinya akan muncul kecenderungan untuk menyalahkan orang lain ataupun diri sendiri.

Nah demikian 11 jenis distorsi kognitif yang mungkin kita lakukan. Pada kadar tertentu, semua orang pasti memiliki distorsi kognitif, baik satu ataupun lebih dari satu jenis. Pengetahuan tentang distorsi kognitif membantu kita menyadari jenis distorsi apa yang kita punyai. Namun, terlepas dari jenis distorsi kognitif apa yang kita sering lakukan, langkah selanjutnya diserahkan pada kita sendiri. Apakah akan berusaha untuk melawan serta mengubah kebiasaan distorsi kognitif yang salah tersebut? Apakah akan dibiarkan saja kebiasaan di atas, menghiraukan pikiran negatif sambil berusaha tetap optimis? Apakah akan dibiarkan saja walaupun terdapat resiko pikiran negatif semakin banyak bermunculan di pikiran kita?

Satu hal yang perlu diingat adalah, otak kita termasuk organ tubuh yang tergantung oleh kebiasaan. Saat kita membiasakan diri untuk berpikir dengan cara yang rasional, obyektif, dan adaptif, pikiran yang dihasilkan pun akan lebih positif. Begitu pula saat kita terbiasa dengan cara berpikir yang salah, tidak rasional dan mengabaikan kenyataan, maka apa yang dihasilkan akan negatif pula.

 

Tulisan ini dikirimkan oleh Azizah Suli Kawalian, Lulusan S2 Universitas Leiden. Hobinya adalah memutar lagu yang sama di spotify hingga ratusan kali.

Let others know the importance of mental health !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar