Beunang ku ruksak .
Kewajiban Menjadi Kaya dalam Islam
by Adam 1 tahun ago 4 min read
Foto: Islampos
0
SHARES
Oleh: Ahmad Afandi
Mahasiswa Perbankan Syariah Universitas Potensi Utama Medan
AGAMA Islam mengajarkan setiap umatnya untuk senantiasa berusaha dalam mengarungi kehidupan yang penuh cobaan. Agama Islam menuntut setiap manusia untuk selalu berusaha dan bekerja. Refleksi ini setidaknya sudah bisa kita lihat pada zaman Rasulullah SAW. Di mana Rasulullah SAW sudah mengenal dunia perdagangan sejak umur 12 tahun.
Pada saat itu beliau (Nabi Muhammad) mengikuti panutan dari pamannya, Abu Thalib. Barulah ketika Nabi mencapai usia remaja, pada umur 25 tahun, Nabi Muhammad melanjutkan berdagang secara individu.
Kala itu, semua pedagang muslim menerapkan sistem kejujuran yang luar biasa dalam praktik dagangnya. Memang, orientasi dagang ialah memperoleh keuntungan (uang). Akan tetapi pada masa Rasulullah, semua sahabat muslim Nabi tidak pernah berbuat curang. Orientasinya sedikit bergeser. Dari uang sebagai tujuan pokok menjadi sifat saling tolong menolong. Sayangnya kini sisa dari prinsip dagang Islam tak lagi terlihat. Bayang-bayang memperoleh keuntungan yang besarlah yang terpampang. Uang seakan menjadi tolak ukur dan motivasi bagi setiap orang.
Bagi umat Islam, seruan menjadi seseorang yang kaya tedapat dalam ayat Alquran. Allah Swt berfirman: “Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya.” (QS. Al-Hijr [15]:19-20).
Pada ayat ini dijelaskan Allah memberi kemudahan bagi siapa saja umat Islam ingin memanfaatkan hasil bumi untuk mendapatkan uang. Allah telah membuka jalan bagi siapa saja yang ingin berusaha. Allah sangat menganjurkan setiap muslim untuk berusaha untuk mempertahankan hidupnya dengan cara yang halal.
Begitu pula seruan Allah tentang larangan muslim untuk lemah melalui hadis Nabi. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu , beliau berkata, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada Mukmin yang lemah; dan pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah engkau berkata, Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini dan begitu, tetapi katakanlah, Ini telah ditakdirkan Allâh, dan Allâh berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena ucapan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan syaitan.” Hadis riwayat Muslim (no. 2664).
Hadis tersebut sangat jelas menegaskan, setiap muslim dilarang menjadi lemah. Kajian lemah pada hakikatnya menyeluruh. Lemah disini tidak hanya menyoal fisik. Akan tetapi lebih dari sekedar kekuatan fisik. Pendidikan, ekonomi, hubungan silaturahmi, politik, serta keilmuan menjadi hal mendasar merotasi artian dari kata lemah. Umat muslim dituntut untuk kuat akan keilmuan. Baik pendidikan yang bersifat formal maupun autodidak untuk mendapatkan pola dari bakat yang dimiliki. Begitu juga dengan cakupan ekonomi.
Allah melarang umat Islam lemah akan ekonomi. Lantas, bukan berarti kita harus menyalahkan takdir karena terlahir menjadi orang miskin. Rujukannya kepada bagaimana umat Islam dapat mempertahankan hidupnya di tengah pergolakan ekonomi nasional.
Semakin berkembangnya tahun, sudah dipastikan semua kebutuhan ekonomi akan melambung tinggi. Persiapan dari segi fisik dan psikislah yang menjadi kajian dari agama Islam. Bagaimana umat Islam mampu bergerak maju menghadapi kondisi ekonomi. Fisik untuk senantiasa bekerja dengan keteguhan mencari rejeki di jalan Allah. Dan psikis yang senantiasa terus berjuang sembari membekali diri dengan keilmuan serta sarana menuju pekerjaan yang lebih baik. Rasulullah SAW juga mengajarkan bahwa kemiskinan sangat dekat dengan kekufuran.
Loading...
Mencari harta sama dengan ibadah
Sudah barang tentu uang beserta harta yang diinginkan oleh umat Islam sudi kiranya harus bersumber dari jalan yang halal. Salah satu hadis Nabi menjelaskan “Tidak akan masuk ke dalam surga sebuah jasad yang diberi makan dengan yang haram.” (Shahih Lighairihi, HR. Abu Ya’la, Al-Bazzar, Ath-Thabarani dalam kitab Al-Ausath dan Al-Baihaqi, dan sebagian sanadnya hasan. Shahih At-Targhib 2/150 no. 1730).
Ketika urusan rejeki dipegang kendali oleh keserakahan, hasil yang didapat juga akan tidak berkah. Orang-orang yang berurusan dengan perihal yang haram sudah dipastikan hidupnya tidaklah akan tenang. Ambisi secara sporadis menguasai hati dan diri umat Islam.
Itu sebabnya istilah kufur nikmat menjadi cibiran pertama kali. Orang miskin cenderung ingin berusaha melepaskan belenggu kesusahan dirinya dengan cara apa saja. Asal mendapatkan uang entah itu dari mana saja, tidak akan diperdulikan. Yang jelas keperluan yang mendesak menjadi tolak ukur setiap usaha yang dilakukan padahal seharusnya, ridho Allah ta’ala terlebih dahulu yang harus dikejar. Kufur artinya sama dengan kafir. Menyekutukan Allah demi suatu tujuan. Begitupun dalam hal memperoleh kekayaan. Kufur mendekati kesesatan. Sementara sesat membuka jurang seseorang menjadi seorang murtad sejati. Di negara ini masih saja ada perihal paham yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Oleh sebab itu, kiranya diperlukan pemikiran yang sehat untuk memilih jalan dari penggarapan rezeki dari Allah SWT. Larangan setiap muslim menjadi lemah akan baik jika bersanding dengan upaya bekerja dengan cara yang halal. Hanya mengenal sistem syariah dengan aturan tidak boleh melenceng dari nominal upah yang didapat. Jangan sampai terlena degan pesona uang dan kemewahan untuk memutarbalikkan seruan menjadi kaya dengan cara-cara kotor yang bisa dilakukan.
Satu hal yang paling berkesan ketika seorang muslim dalam posisi kesusahan. Sesungguhnya harta yang kita miliki menjadi cobaan paling berat bagi hidup umat Islam. Setelah mendapatkan hasil kemudian mendapatkan cobaan, baik berhubungan dengan materi maupun sebuah bencana, setiap umat Islam dituntut untuk bersabar. Berbaik sangka dengan jalan Allah SWT. Tidak dituntut untuk mencari jalan keluar. Akan tetapi perlu menikmati proses bersabar. Meminta ampun agar Allah melapangkan jalan yang terang. Di saat proses bersabat benar-benar merajai tubuh umat Islam, pahala yang besar dari Allah akan senantiasa terus mengalir.
Seruan menjadi kaya dalam Islam sering menimbulkan spekulasi bagi orang-orang tamak kekuasaan. Rakus akan harta. Padahal, uang tidak bisa dijadikan pedoman untuk sebuah kebahagiaan. Kebahagiaan yang hakiki adalah keberkahan hidup. Bagaimana kita berpengaruh bagi setiap orang. Setiap kita adalah pemberi manfaat bagi sesama umat Islam. Uang tidak menjamin kebahagiaan sebesar apapun. Ketika anda membutuhkan jasa tukang service, jika Anda punya uang banyak akan tetapi semua menolak karna berbagai alasan. Uang yang Anda miliki selayaknya sampah yang tidak berarti. Kebahagiaan hanyalah milik hati yang lapang. Memacu semangat memperoleh pundi-pundi rupiah dengan kontrol koridor kewaspadaan yang tinggi agar tidak terjerumus ke dalam lembah dosa. []
Meminta petunjuk diusahakan sunatullah .
Hidup dan waktu .
Berlebihan dan di kondisikan .
Arti Penting Harta dalam Islam
Bismillah…
Islam sangat menghargai apapun yang bermanfaat bagi manusia, termasuk diantaranya harta. Diantara buktinya bisa kita lihat dalam kajian seputar dharuriyat al-khams (5 hal yang mendesak), yang menjadi maqasid as-Syariah (tujuan dasar syariah). Diantara 5 hal itu adalah hifdzul mal (menjaga harta). Karena itu, harta dalam islam tidak boleh disia-siakan.
Hanya saja perlu kita pahami, anjuran menghargai harta tidak sama dengan motivasi mengejar harta dan dunia. Bisa saja seseorang mengejar harta, namun di saat yang sama dia menggunakan harta itu untuk pemborosan yang sia-sia. Dan bahkan, kebanyakan mereka yang rakus dunia, hartanya dihamburkan untuk kehidupan glamor yang sia-sia…
Selanjutnya kita akan melihat bagaimana semangat islam dalam menghargai harta,
[1] Harta disebut al-khoir
Al-Khoir secara bahasa artinya kebaikan. Dan ada beberapa ayat dalam al-Quran yang menyebut harta dengan eutan al-Khoir.. diantaranya,
Firman Allah,
وَإِنَّهُ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيدٌ
Manusia itu terhadap harta sangat rakus (QS. al-Adiyat: 8)..
Juga firman Allah,
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
Diwajibkan kalian, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan khoir (harta yang banyak), agar berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf. (QS. al-Baqarah: 180)
Ibnu Abdil Barr mengatakan,
والخير ههنا المال، لا خلاف بين أهل العلم في ذلك
Al-khoir di sini maknanya adalah harta, tidak ada perbedaan penndapat diantara ulama dalam tafsir ini. (at-Tamhid, 14/295).
Kemudian Ibnu Abdil Bar menyebutkan 4 ayat lainnya dalam al-Quran yang menyebut harta dengan al-khoir: 2 ayat di atas, lalu QS. Shad: 32, dan QS. an-Nur: 33.
Mengapa disebut al-Khoir?
Khoir artinya baik. Lawannya Syarr, yang artinya keburukan. Sehingga jangan sampai, karena salah dalam menggunakan, al-khoir berubah menjadi as-Syarr.
Menurut al-Hakim at-Turmudzi dalam Nawadir al-Ushul,
المال في الأصل قوام العباد في أمر دينهم، به يصلون ويصومون ويزكون ويتصدقون، فالأبدان لا تقوم إلا بهذا المال، وأعمال الأركان لا تقوم إلا بهذا المال…فهذا المال على ما وصفنا حقيق أن يسمى خيراً لأن الخيرات به تقوم
Harta pada asalnya merupakan pendukung bagi para hamba untuk urusan agama mereka. Dengan harta mereka bisa shalat, puasa, zakat, atau sedekah. fisik tidak bisa tegak kecuali dengan harta. Amal anggota badan hanya bisa terlaksana dengan harta… karena itu, harta dengan semua karakter yangkita sebutkan, layak untuk disebut al-khoir, karena banyak kebaikan bisa terlaksana dengan harta. (Nawadir al-Ushul, 4/91).
[2] Harta disebut mal Allah (harta dari Allah)
Allah perintahkan agar kita membantu orang yang membutuhkan harta, terutama budak yang ingin merdeka.
Allah berfirman,
وَآَتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آَتَاكُمْ
Berikanlah kepada mereka harta Allah yang telah Allah berikan kepada kalian. (QS. an-Nur: 33).
Allah menyebut harta dalam ayat di atas dengan mal Allah (harta Allah). Agar kita memahami bahwa harta itu amanah yang diberikan Allah kepada kita, sehingga jangan sampai harta itu disia-siakan.
[3] Orang bodoh menurut al-Quran – mereka yang tidak bisa menggunakan harta dengan benar
Allah melarang kita memberikan harta kepada orang bodoh, meskipun itu miliknya. Sehingga bagi orang bodoh, harta itu harus ada yang menjaganya. Allah berfirman,
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang bodoh, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu). (QS. an-Nisa: 5)
Disebut sufaha’ (bodoh) karena belum sempurna akalnya. Mereka adalah orang yang tidak bisa menggunakan harta dengan benar. Sehingga orang kaya yang tidak bisa menggunakan harta dengan benar, dia termasuk kategori bodoh menurut al-Quran.
[4] Larangan israf dan tabdzir
Allah menyebut pelaku tabdzir sebagai temannya setan. Dan Allah tidak mencintai orang yang suka israf (boros). Allah berfirman,
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا . إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
Janganlah melakukan tindakan tabdzir, sesungguhnya para mubadzir itu temannya setan. (QS. al-Isra: 26-27).
Allah juga berfirman,
وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Janganlah bersikap boros, sesungguhnya Allah tidak mencintai orang yang boros. (QS. al-An’am: 141).
Apa beda israf (boros) dengan tabdzir?
Kesimpulan Ibnu Abidin,
أن الإسراف: صرف الشيء فيما ينبغي زائداً على ما ينبغي، والتبذير: صرف الشيء فيما لا ينبغي
Al-Israf: menggunakan harta untuk sesuatu yang benar, namun melebihi batas yang dibenarkan. Sedangkan tabdzir: menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak benar. (Hasyiyah Ibnu Abidin, 6/759).
Anda makan dengan hidangan berlebihan, itu israf. Sementara ketika anda menggunakan harta untuk maksiat, itu tabdzir.
[5] Penggunaan harta akan dihisab
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan bahwa harta akan dihisab. Tidak hanya dihisab untuk bagaimana cara mendapatkannya, tapi juga dihisab terkait bagaimana cara menggunakannya.
Anda bisa menjamin harta yang anda dapatkan halal. Tapi itu belum cukup. Ada tugas yang kedua, yaitu bagaimana menggunakan harta itu untuk sesuatu yang benar.
Dalam hadis dari Abu Barzah al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ … وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ…
Kaki seorang hamba di hari kiamat tidak akan bergeser sampai dia ditanya tentang (beberapa hal, diantaranya) tentang hartanya, dari mana dia dapatkan dan untuk apa dia gunakan… (HR. Turmudzi 2602, ad-Darimi 546 dan statusnya hasan)
[6] Maksimalkan untuk mendukung taqwa.
Harta ketika dipegang oleh orang yang tidak memiliki taqwa bisa berpotensi bahaya. Karena itu, beliau menyarankan, siapa yang siap kaya, harus siap bertaqwa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنْ اتَّقَى اللهَ
Tidak masalah adanya kekayaan bagi orang yang bertaqwa. (Ahmad 23158 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)
Bahkan sampaipun ketika kita hendak memberikan harta ke orang lain, upayakan memilih orang yang bertaqwa.
Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَصْحَبْ إِلَّا مُؤْمِنًا، وَلَا يَأْكُلْ طَعَامَكَ إِلَّا تَقِيٌّ
Jangan mengambil teman dekat kecuali orang mukmin, dan jangan makan makananmu kecuali orang yang bertaqwa. (HR. Ahmad 11337 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)
Hadis ini tidaklah menunjukkan bahwa kita dilarang memberi makan orang yang tidak bertaqwa. Kita boleh memberi makan orang kafir, sebagaimana Allah memuji muslim yang memberi makan tawanan. Dan tawanan bagi para sahabat adalah orang kafir.
Allah berfirman,
وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرًا
Mereka memberi makanan yang paling dia sukai kepada orang miskin, anak yatim, dan tawanan. (QS. al-Insan: 8)
Lalu apa makna hadis ini?
Sebagian ulama – seperti Imam Ibnu Baz, Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad dan yan lainnya – memahami, maksud dari hadis ini adalah perbanyaklah berteman dekat dengan orang yang bertaqwa. Karena ketika hartamu lari keluar, penerimanya adalah kawan dekatmu.
Ketika menerima harta kita adalah orang yang rajin menghafal al-Quran, maka harta yang kita berikan kepada mereka akan berubah menjadi amalan hafalan al-Quran. Demikian pula ketika harta itu kita berikan kepada orang soleh lainnya.
Demikian, Allahu a’lam.
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Sementara.
Tong dahar.
Budak urang majang.
Mau, mampu dan butuh.
Dijalanan jeung duitmah bisa di teang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar