Kematian merupakan persinggahan pertama manusia di alam akhirat. Al Qurthubiy berkata dalam At Tadzkirah, “Kematian ialah terputusnya hubungan antara ruh dengan badan, berpisahnya kaitan antara keduanya, bergantinya kondisi, dan berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya.” Yang dimaksud dengan kematian dalam pembahasan berikut ini adalah al maut al kubra, sedangkan al maut ash shughra sebagaimana dimaksud oleh para ulama, ialah tidur. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan.” (QS. Az Zumar : 42)[1]
Orang yang Cerdas
Orang yang cerdas adalah orang yang tahu persis tujuan hidupnya. Kemudian mempersiapkan diri sebaik-baiknya demi tujuan tersebut. Maka, jika akhir kesempatan bagi manusia untuk beramal adalah kematian, mengapa orang-orang yang cerdas tidak mempersiapkannya?
Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Suatu hari aku duduk bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang lelaki dari kalangan Anshar, kemudian ia mengucapkan salam kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paling utama?’ Rasulullah menjawab, ‘Yang paling baik akhlaqnya’. Kemudian ia bertanya lagi, ‘Siapakah orang mukmin yang paling cerdas?’. Beliau menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian tersebut, itulah orang yang paling cerdas.’ (HR. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy. Syaikh Al Albaniy dalam Shahih Ibnu Majah 2/419 berkata : hadits hasan)[2]
Pemutus Segala Kelezatan
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Perbanyaklah mengingat pemutus segala kelezatan’, yaitu kematian. (HR. At Tirmidzi, Syaikh Al Albaniy dalam Shahih An Nasa’iy 2/393 berkata : “hadits hasan shahih”)
Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly hafizhahullah menjelaskan perihal hadits di atas, “Dianjurkan bagi setiap muslim, baik yang sehat maupun yang sedang sakit, untuk mengingat kematian dengan hati dan lisannya. Kemudian memperbanyak hal tersebut, karena dzikrul maut (mengingat mati) dapat menghalangi dari berbuat maksiat, dan mendorong untuk berbuat ketaatan. Hal ini dikarenakan kematian merupakan pemutus kelezatan. Mengingat kematian juga akan melapangkan hati di kala sempit, dan mempersempit hati di kala lapang. Oleh karena itu, dianjurkan untuk senantiasa dan terus menerus mengingat kematian.”[3]
Dan Merekapun Ingin Kembali
Sebaliknya orang-orang yang semasa hidupnya sangat sedikit mengingat mati, dari kalangan orang-orang kafir dan mereka yang tidak menaati seruan para Rasul, akan meminta tangguh dan udzur ketika bertemu dengan Rabb mereka kelak di akhirat. Inilah penyesalan yang paling mendalam bagi manusia yang tidak mengingat kematian.
“Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang adzab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang dzalim: “Ya Rabb kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul. (Kepada mereka dikatakan): “Bukankah kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa sekali-kali kamu tidak akan binasa?” (QS. Ibrahim : 44)
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Wahai Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan termasuk orang-orang yang shaleh? Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Munafiqun : 10-11)
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “ Wahai Rabb-ku kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal shaleh terhadap apa yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja.” (QS. Al Mu’minun : 99-100)[4]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy berkata mengenai ayat dalam Surat Al Mu’minun, “Allah Ta’ala mengabarkan keadaan orang-orang yang berhadapan dengan kematian, dari kalangan mufrithin (orang-orang yang bersikap meremehkan perintah Allah -pent) dan orang-orang yang zhalim. Mereka menyesal dengan kondisinya ketika melihat harta mereka, buruknya amalan mereka, hingga mereka meminta untuk kembali ke dunia. Bukan untuk bersenang-senang dengan kelezatannya, atau memenuhi syahwat mereka. Akan tetapi mereka berkata, ‘Agar aku berbuat amal shaleh terhadap apa yang telah aku tinggalkan.” Beliau kembali menjelaskan, “Apa yang mereka perbuat tidaklah bermanfaat sama sekali, melainkan hanya ada kerugian dan penyesalan. Pun perkataan mereka bukanlah perkataan yang jujur, jika seandainya mereka dikembalikan lagi ke dunia, niscaya mereka akan kembali melanggar perintah Allah.”[5]
Pendekkan Angan-Anganmu!
Sikap panjang angan-angan akan membuat seseorang malas beramal, mengira hidup dan umur mereka panjang sehingga menunda-nunda dalam beramal shalih.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata, “Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membuat segi empat, kemudian membuat garis panjang hingga keluar dari persegi tersebut, dan membuat garis-garis kecil dari samping menuju ke tengah. Kemudian beliau berkata, ‘Inilah manusia, dan garis yang mengelilingi ini adalah ajalnya, dan garis yang keluar ini adalah angan-angannya. Garis-garis kecil ini adalah musibah dalam hidupnya, jika ia lolos dari ini, ia akan ditimpa dengan ini, jika ia lolos dari ini, ia akan ditimpa dengan ini.” (HR. Bukhari, lihat Fathul Bari I/236-235)
Dari Anas beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Setiap anak Adam akan menjadi tua dan hanya tersisa darinya dua hal: ambisi dan angan-angannya”[6]
Oleh karena itu, di antara bentuk dzikrul maut adalah memperpendek angan-angan, dan tidak menunda-nunda dalam beramal shalih.
Dari Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah memegang pundak kedua pundakku seraya bersabda : “Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau pengembara “. Ibnu Umar berkata : “Jika kamu berada di sore hari jangan tunggu pagi hari, dan jika kamu berada di pagi hari jangan tunggu sore hari, gunakanlah kesehatanmu untuk (persiapan saat) sakitmu dan kehidupanmu untuk kematianmu”. (HR. Al-Bukhari, lihat Al Fath I/233)
Faktor-Faktor yang Dapat Mengingatkan Kematian
[1] Ziarah kubur, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berziarah kuburlah kalian sesungguhnya itu akan mengingatkan kalian pada akhirat” (HR. Ahmad dan Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani)[7]
[2] mengunjungi mayit ketika dimandikan dan melihat proses pemandiannya
[3] menyaksikan proses sakaratul maut dan membantu mentalqin
[4] mengantar jenazah, menyolatkan, dan ikut menguburkannya
[5] membaca Al Qur’an, terutama ayat-ayat yang mengingatkan kepada kematian dan sakaratul maut. Seperti firman Allah Ta’ala yang artinya, “Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya” (QS. Qaaf : 19)
[6] merenungkan uban dan penyakit yang diderita, karena keduanya merupakan utusan malaikat maut kepada seorang hamba
[7] merenungkan ayat-ayat kauniyah yang telah disebutkan Allah Ta’ala sebagai pengingat bagi hamba-hambaNya kepada kematian. Seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, badai, dan sebagainya
[8] menelaah kisah-kisah orang maupun kaum terdahulu ketika menghadapi kematian, dan kaum yang didatangkan bala’ atas mereka
Faidah Mengingat Kematian
Di antara faidah mengingat kematian adalah : [1] memotivasi untuk mempersiapkan diri sebelum terjadinya kematian; [2] memendekkan angan-angan, karena panjang angan-angan merupakan sebab utama kelalaian; [3] menjadikan sikap zuhud terhadap dunia, dan ridha dengan bagian dunia yang telah diraih walaupun sedikit; [4] sebagai motivasi berbuat ketaatan; [5] sebagai penghibur seorang hamba tatkala memperoleh musibah dunia; [6] mencegah dari berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam menikmati kelezatan dunia; [7] memotivasi untuk segera bertaubat dan memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat; [8] melembutkan hati dan mengalirkan air mata, mendorong semangat untuk beragama, dan mengekang hawa nafsu; [9] menjadikan diri tawadhu’ dan menjauhkan dari sikap sombong dan zhalim dan; [10] memotivasi untuk saling memaafkan dan menerima udzur saudaranya.[8]
Penulis: Yhouga AM
Artikel www.muslim.or.id
Terus nu ku urang tuju naon?
Hidup adalah kesempatan. Mendapat pahala.
menguji untuk mengetahui mengingat allah (ibadah) di dalam kesempatan yang penuh kesempitan.
Allah Swt dalam al-Qur’an berfirman, “Aku
mencipta manusia supaya Aku menguji di
antara mereka siapa yang paling baik
amalnya” yang dimaksud dengan ujian
dan cobaan yang digeral Tuhan tentu
berbeda dengan pelbagai ujian yang
diselenggarakan manusia.
Ujian-ujian yang diselenggarakan manusia
adalah untuk mengenal lebih baik dan
menghilangkan keburaman dan
ketidaktahuan. Namun ujian Ilahi sejatinya
adalah untuk penempaan dan tarbiyah
manusia. Artinya ujian dan cobaan Ilahi
adalah ruang-ruang untuk mentarbiyah,
menempa dan menyempurnakan manusia.
Allah Swt menggunakan beberapa jalan
dan cara untuk menguji manusia sesuai
dengan kemampuannya. Terkadang
melalui pelbagai kesulitan dan kepelikan
hidup, terkadang dengan kebaikan dan
keburukan, melalui banyaknya harta dan
kekayaan, modal, anak, musibah dan lain
sebagainya.
Jawaban Detil
Definisi Ujian Ilahi
Apa yang disebut dalam bahasa kita
sebagai “ujian” atau “cobaan”
disebutkan dalam ragam redaksi
dalam al-Qur’an misalnya, “ ibtilâ ”,
“ fitnah ”, “ tamhish .” Allah Swt dalam al-
Qur’an berfirman: Aku mencipta
manusia supaya Aku menguji di antara
mereka siapa yang paling baik
amalnya . “Yang menciptakan mati dan
hidup supaya Dia mengujimu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya.
Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.” (Qs. Al-Mulk [67]:2)
Yang dimaksud dengan ujian dan
cobaan yang digeral Tuhan tentu
berbeda dengan pelbagai ujian yang
diselenggarakan manusia.
Ujian-ujian yang diselenggarakan
manusia adalah untuk mengenal lebih
baik dan menghilangkan keburaman
dan ketidaktahuan. Namun ujian Ilahi
sejatinya adalah untuk penempaan
dan tarbiyah manusia. [1] Artinya ujian
dan cobaan Ilahi adalah ruang-ruang
untuk mentarbiyah, menempa dan
menyempurnakan manusia
sebagaimana para nabi Ilahi seperti
Nabi Ibrahim yang ditempa dengan
pelbagai ujian kesulitan dan kepelikan
hidup kemudian menggondol makam-
makam tertinggi. [2]
Obyek-obyek Ujian Ilahi dalam al-
Qur’an
Ujian dan cobaan Ilahi untuk manusia
merupakan salah satu sunnahtullah.
Al-Qur’an menyatakan, “Apakah
manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami
telah beriman”, sedang mereka tidak
diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami
telah menguji orang-orang yang
sebelum mereka, maka sesungguhnya
Allah mengetahui orang-orang yang
benar dan sesungguhnya Dia
mengetahui orang-orang yang
dusta.” (Qs. Al-Ankabut [29]:2-3)
Terkadang al-Qur’an menyebutkan
satu ujian umum yang digelar untuk
seluruh hamba Tuhan dengan
ungkapan, “Apakah manusia itu
mengira bahwa mereka dibiarkan (saja)
mengatakan, “Kami telah beriman”,
sedang mereka tidak diuji lagi?” (Qs.
Al-Ankabut [29]:2)
Terkadang al-Qur’an menyingkap satu
jenis ujian khusus yang ditujukan
untuk orang-orang dan kaum tertentu.
Masalah ini yang membentuk satu
jenis episode dan kisah-kisah al-
Qur’an, misalnya kisah-kisah para nabi
dan kaumnya.
Ayat-ayat yang berkisah tentang ujian-
ujian umum lebih banyak dari apa
yang dapat dikemukakan di sini. Di
sini kami hanya akan menyinggung
beberapa hal terkait dengan cobaan
dan ujian-ujian Ilahi yang disebutkan
dalam al-Qur’an:
1. Pelbagai Kesulitan dan Kepelikan
Allah Swt menguji manusia dengan
perantara pelbagai kesulitan dan
kepelikan. Allah Swt berfirman, “Dan
sungguh Kami akan berikan cobaan
kepadamu dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan
buah-buahan. Dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang
sabar.” (Qs. Al-Baqarah [2]:155)
Pelbagai kesulitan adalah tungku
pembakaran yang memberikan
kekuatan dan ketahanan pada besi.
Demikian juga manusia dalam
tempaan tungku pembakaran pelbagai
kesulitan dan kepelikan akan menjadi
kokoh dan kuat serta mampu untuk
merobohkan pelbagai rintangan yang
menghalang di hadapannya dalam
upayanya meniti jalan menuju
kebahagiaan.
Bencana memiliki efek edukatif dan
pembinaan individu dan pembangun
masyarakat. Kesulitan hidup akan
membangunkan dan mengingatkan
manusia yang terlelap. Kesulitan hidup
adalah penggerak tekad dan kehendak
manusia. Kesulitan-kesulitan hidup
adalah laksana pemberi polesan
terhadap besi dan baja yang semakin
dekat dengan magnet akan membuat
orang semakin bulat tekadnya, lebih
aktif dan lebih giat. Karena tipologi
hidup adalah supaya manusia
bertahan di hadapan pelbagai
kesulitan dan bersiaga
menghadapinya. Kesulitan laksana
senyawa kimia yang memiliki tipologi
untuk membangkitkan kuiditas dan
merubah jiwa dan kepribadian
manusia. [3]
2. Keburukan dan Kebaikan
Sebagaimana al-Qur’an menyatakan,
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan
mati. Kami akan mengujimu dengan
keburukan dan kebaikan sebagai
cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan
hanya kepada Kami-lah kamu
dikembalikan.” (Qs. Al-Anbiya [21]:35)
Dengan demikian bahkan kebaikan
sekali pun juga dapat menjadi sebuah
faktor ujian bagi manusia. Misalnya
seseorang yang mampu memperoleh
kekayaan, harta atau tanggun jawab
yang menyebabkan dirinya dihormati
dan disanjung namun ia tidak dapat
memanfaatkannya dengan baik
sehingga mudah menjadi obyek tipu
daya setan.
3. Melimpahnya Karunia
Ujian-ujian Ilahi tidak selamanya
dalam bentuk pelbagai peristiwa pelik
dan susah melainkan terkadang Tuhan
menguji para hamba-Nya dengan
karunia yang banyak dan melimpah[4]
sebagaimana al-Qur’an menarasikan
kisah Nabi Sulaiman, “Tetapi)
seseorang yang mempunyai sebuah
ilmu dari kitab (samawi) berkata, “Aku
akan membawa singgasana itu
kepadamu sebelum matamu berkedip.”
Maka tatkala Sulaiman melihat
singgasana itu terletak di hadapannya,
ia pun berkata, “Ini termasuk karunia
Tuhan-ku untuk mencobaku apakah aku
bersyukur atau mengingkari (nikmat-
Nya). Dan barang siapa yang bersyukur,
maka sesungguhnya dia bersyukur
untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan
barang siapa yang ingkar, maka
sesungguhnya Tuhan-ku Maha Kaya lagi
Maha Mulia.”” (Qs. Al-Naml [27]:40)
Kelompok lainnya yang karam dalam
samudera anugerah dan segala
fasilitas berada dalam jangkaunnya.
Ujian mereka adalah apakah dalam
kondisi seperti ini untuk menunaikan
tugas yaitu bersyukur atas anugerah
yang diberikan ini dan menolong
orang-orang susah atau tenggelam
dalam kelalaian, angkuh, congkak,
mementingkan diri sendiri.
4. Anak-anak
Al-Qur’an menyebutkan, “Dan
ketahuilah bahwa harta dan anak-
anakmu itu hanyalah sebagai cobaan
dan sesungguhnya di sisi Allah-lah
pahala yang besar.” (Qs. Al-Anfal
[8]:28)
5. Iman dan Kafir
Al-Qur’an mengingatkan tentang
penjaga neraka dan menyebut jumlah
mereka sebanyak sembilan belas
malaikat kemudian mengimbuhkan,
“Kami tidak menjadikan penjaga neraka
itu melainkan dari malaikat dan tidaklah
Kami menjadikan bilangan mereka itu
melainkan sebagai cobaan bagi orang-
orang kafir supaya ahli kitab (Yahudi
dan Kristen) menjadi yakin, supaya
iman orang yang beriman bertambah,
supaya ahli kitab dan orang-orang
mukmin itu tidak ragu-ragu, dan supaya
orang-orang yang di dalam hatinya ada
penyakit dan orang-orang kafir berkata,
“Apakah yang dikehendaki Allah dengan
menjelaskan sifat-sifat neraka Saqar
itu?” Demikianlah Allah menyesatkan
orang-orang yang dikehendaki-Nya dan
memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang
mengetahui bala tentara Tuhan-mu
melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu
tidak lain hanyalah peringatan bagi
manusia.” (Qs. Al-Mudattsir [74]:31)
6. Ornamen dan Hiasan di Muka Bumi
Pada sebuah ayat al-Qur’an
disebutkan tentang apa yang terdapat
di bumi dipandang sebagai sebuah
ujian. “Sesungguhnya Kami telah
menjadikan apa yang ada di bumi
sebagai perhiasan baginya, agar Kami
menguji mereka siapakah di antara
mereka yang terbaik
perbuatannya.” (Qs. Al-Kahf [18]:7)
[IQuest]
Bertahan Hidup Di Masa Sulit
Oleh : Ustadz Abu Isma’il Muslim Al Atsari
Dunia adalah negeri ujian. Allah subhanahu wa ta’ala
menghendaki keadaan manusia berbeda-beda sebagai
ujian. Ada orang Mukmin dan kafir, orang sehat dan
sakit, orang kaya dan miskin, dan seterusnya. Makna
semua ini, bahwa seseorang itu di uji dengan orang
yang tidak seperti dia. Seseorang yang kaya
contohnya, dia di uji dengan keberadaan orang miskin.
Sepantasnya orang kaya tersebut, membantunya dan
tidak menghinanya. Sebaliknya si miskin juga di uji
dengan keberadaan si kaya. Sepantasnya dia tidak
hasad terhadap si kaya dan tidak mengambil hartanya
dengan tanpa hak. Dan masing-masing berkewajiban
meniti jalan kebeneran.
Maka jika kita liat di uji oleh Allah ta’ala dengan
kemiskinan dan kesulitan hidup, hendaklah kita
menyikapinya dengan cara-cara yang telah ditunjukkan
oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Di antara kiat-kiat
menghadapi keadaan sulit tersebut itu adalah :
Wajib berkhusnudzon kepada Allah ta’ala
Yang pertama dan utama hendaklah setiap hamba
berkhusnudzon (berprasangka baik) kepada Allah ta’ala
ketika musibah dan kesusahan yang menimpanya.
Karena sesungguhnya keimanan dan tauhid seseorang
tidak akan sempurna kecuali dengan husnudzon
kepada Allah ta’ala. Syaikh Muhammad bin Shalih al
‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Engkau wajib
husnudzon kepada Allah ta’ala terhadap perbuatannya
di alam ini. Engkau wajib menyakini bahwa apa yang
Allah ta’ala lakukan itu untuk hikmah yang sempurna.
Terkadang akal manusia yang memahaminya atau
terkadang tidak. Dengan cara itulah keagungan Allah
ta’ala dan hikmah-Nya di dalam takdir-Nya bisa
diketahui. Maka janganlah ada yang menyangka bahwa
jika Allah ta’ala melakukan sesuatu di alam ini, adalah
karena kehendak-Nya yang buruk. Termasuk kejadian-
kejadian dan musibah-musibah yang ada, Allah ta’ala
tidak mengadakannya karena kehendak buruk yang
berkaitan dengan perbuatan-Nya. Adapun yang
berkaitan dengan makhluk, bahwa Allah ta’ala
menetapkan apa yang Dia kehendaki, itu terkadang
menyusahkannya, maka ini seperti firman Allah ta’ala:
“Katakanlah: “Siapakah yang dapat melindungi kamu
dari (takdir) Allah, jika Dia menghendaki bencana
atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?” [QS.al
Ahzab/33:17] [1]
Bersabar
Kemudian senjata hamba di dalam menghadapi
kesusahan adalah kesabaran. Sabar adalah sifat yang
agung. Sabar menghadapi kesusahan adalah menahan
jiwa dari berkeluh kesah, menahan lisan dari mengadu
kepada manusia, dan menahan anggota badan dari
perkara yang menyelesihi syari’at. Bagi seorang
Mukmin sabar merupakan senjatanya untuk
menghadapi kesusahan. Dan hal itu akan membuahkan
kebaikan baginya.
Jika kita melihat keadaan Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam dan keluarganya, maka kita akan takjub
dengan kesabaran mereka menghadapi kesusahan
hidup di dunia ini. Memang karena layak dijadikan
panutan. Ibnu Abbas rahimahullah berkata:
“Dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
melewati beberapa malam berturut-turut dengan
keadaan perutnya kosong, demikian juga keluarganya,
mereka tidak mendapati makan malam. Dan
sesungguhnya kebanyakan rotinya mereka adalah roti
gandum. [2]
Bersikap Qana’ah
Selain kesabaran, maka sikap yang tidak kalah penting
adalah qana’ah. Yang dimaksud dengan qana’ah
adalah ridha terhadap pembagian Allah ta’ala. Karena
sesungguhnya hakekat kaya itu adalah kaya hati,
bukan kaya harta. Dan qana’ah merupakan jalan
kebahagiaan. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
“Sesungguhnya telah beruntung orang yang telah
masuk agama islam, diberi kecukupan rezeki dan Allah
menjadikannya qana’ah terhadap apa-apa yang telah
Dia berikan kepadanya. [3]
Yaitu benar-benar sukses orang yang tunduk kepada
Rabbnya dan dia diberi rezeki yang mencukupi
keperluan dan kebutuhan pokonya; dan Allah
subhanahu wa ‘ta’ala menjadikannya qana’ah terhadap
semua yang telah Dia berikan kepadanya. [4]
Imam Ibnu Qudamah al Maqdisi rahimahullah berkata:
“Ketahuilah bahwa kemiskinan itu terpuji. Namun,
sepantasnya orang yang miskin itu bersifat qana’ah,
tidak berharap kepada makhluk, tidak menginginkan
barang yang berada di tangan orang, dan tidak rakus
mencari harta dengan segala cara. Semua tidak
mungkin dilakukan, kecuali dia qna’ah dengan ukuran
minimal terhadap makanan dan pakaian.” [5]
Barangsiapa bersikap qana’ah, maka hal itu akan
memunculkan sifat ‘afaf (menjaga kehormatan diri)
dengan tidak mengharapkan barang milik orang lain,
apalagi meminta-minta.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya meminta-minta itu merupakan cakaran
seseorang pada wajahnya. Kecuali seseorang yang
meminta kepada pemerintah atau perkara yang tidak
ada pilihan lain baginya” [6]
Dan sifat ‘afaf ini memiliki keutamaan yang sangat
besar. Marilah kita perhatikan tawaran yang agung dari
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam yang sangat benar
perkataannya, yaitu sabda beliau shalallahu ‘alaihi
wasallam:
“Siapakah yang menjamin bagiku, bahwa dia tidak akan
meminta apapun kepada manusia, maka aku akan
menjamin surga baginya? Sahabat Tsauban berkata:
“Saya!.” Maka dia tidak pernah meminta apapun
kepada seorangpun.” [7]
Bahkan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam mewasiatkan
kepada sebagian Sahabat beliau untuk tetap tidak
meminta kepada makhluk, walaupun tertimpa kelaparan
sampai tidak mampu berjalan! Abu Dzarr al Ghifari
radhiyallahu ‘anhu bercerita:
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menunggang
keledai dan memboncengkanku di belakangnya,
kemudian berkata: “Abu Dzarr, bagaimana pendapatmu
jika kelaparan yang dahsyat menimpa manusia sampai
engkau tidak mampu bangun dari tempat tidurmu
menuju masjidmu?” Aku menjawab: “Allah Azza wa
Jalla dan Rasul-Nya lebih mengetahui. Beliau
bersabda: “Ta’affuf-lah (janganlah engkau meminta-
minta).” [8]
Berhemat
Kemudian di antara sikap terpenting dalam
menghadapi kesulitan adalah bersikap hemat di dalam
pengeluaran. Jangan sampai lebih pasak daripada
tiang. Yaitu jangan sampai pengeluaran lebih banyak
daripada pemasukan. Karena hal itu tentu akan
berakibat fatal. Sebagian orang akhirnya terperosok ke
dalam lubang hutang yang tidak ada kesudahannya.
Oleh karena Allah Azza wa Jalla memuji hamba-
hamba-Nya yang bersikap tengah-tengah ketika
megeluarkan harta mereka, tidak pelit dan tidak boros.
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Dan orang-orang apabila membelanjakan (harta),
mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan
adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara
yang demikian.” [QS.Al Furqon/25:67]
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Tiga perkara yang menyelamatkan: takut kepada Allah
Azza wa Jalla pada waktu sendirian dan bersama
orang banyak; bersikap hemat pada waktu kaya dan
miskin; dan bersikap adil pada waktu ridha dan
marah.” [9]
Bunuh diri bukan solusi
Selain itu bahwa orang beriman yang menyakini takdir
Allah Azza wa Jalla, tidak boleh berputus asa di dalam
menghadapi ujian-ujian di kehidupan dunia ini. Apalagi
sampai mengakhiri hidupnya secara paksa, atau bunuh
diri. Hanya karena kesulitan ekonomi, atau ujian
penyakit yang tiada henti, atau cita-cita yang tidak
terjadi, atau sakit hati yang tidak terobati, sebagian
orang rela menghabisi nyawanya dengan bunuh dri.
Padahal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah
mengingatkan ancaman keras terhadap pelaku bunuh
diri dengan sabda beliau shalallahu ‘alaihi wasallam:
“Barangsiapa menjatuhkan dirinya dari sebuah gunung,
kemudian membunuh dirinya, maka dia di dalam
neraka jahannam menjatuhkan dirinya dari sebuah
gunung, dia tinggal lama dan dijadikan kekal di dalam
neraka jahannam. Dan barangsiapa meminum racun
kemudian membunuh dirinya, maka racunnya akan
berada ditangannya, dia akan meminumnya di dalam
neraka jahannam dia tinggal lama dan dijadikan kekal
di dalam neraka jahannam selama-lamanya. Dan
barangsiapa membunuh dirinya dengan besi, maka
besinya akan berada ditangannya, dia akan menikam
perutnya di dalam neraka jahannam, dia tinggal lama
dan dijadikan kekal di dalam neraka jahannam selama-
lamanya.” [HR.Bukhari no.5778, Muslim no.109; dari
Abu Hurairah; lafaz bagi al Bukhari]
Sebagai penutup, kita sebagai orang yang beriman
harus menyakini bahwa apapun yang menimpa kita,
jika kita menyikapinya dengan benar maka hal itu
merupakan kebaikan bagi kita. Rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam telah memberitakan keadaan orang
Mukmin yang menakjubkan, yaitu karena semua
urusannya baik baginya, di dalam sebuah hadits di
bawah ini:
Dari Shuhaib, dia berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Urusan seorang Mukmin itu
menakjubkan. Karena sesungguhnya semua urusannya
itu baik, dan itu hanya dimiliki oleh orang Mukmin. Jika
kesenangan mengenainya, dia bersyukur, maka syukur
itu baik baginya. Dan jika kesusahan mengenainya, dia
bersabar, maka sabar itu baik baginya.” [10]
Inilah sedikit tulisan mengenai kiat-kiat menghadapi
kesusahan. Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar